Tetapi muncul kembali sebuah sastra dengan bentuk yang baru, yaitu sebuah puisi yang penuh syarat kebebasan. Meskipun kesusastran kita telah menemukan puisi modern yang bebas, pada akhirnya kita harus menerima sebuah kenyataan bahwa penemuan tersebut adalah sebuah ciri yang pakem untuk menandai sebuah perkembangan kesusastraan.
Pada era sastra siber seperti saat ini, kita masih menemukan bentuk-bentuk yang sama seperti dalam masa sebelumnya, tetapi kita belum menemukan sebuah bentuk karya sastra yang baru. Maka pertanyaan yang dapat kita buat adalah, bukan apa dan kenapa tetapi "apakah sastra siber merupakan sebuah kemajuan atau malah sebaliknya?"
Pada sebuah kenyataan yang sebenarnya sangat terang benerang ini, bahwa sebenarnya kita tertinggal lebih jauh dari siber itu sendiri. Sehingga sastra kita harus berlari untuk mencapai keselarasan yang dapat diterima oleh semua kalangan. Â
Jangankan memahami apa itu sastra, tahu betul tentang siber saja tidak. Maka tentu saja dialog-dialog terkait sastra siber tidak hanya harus menghadirkan seorang sastrawan atau ahli kesusastraan, tetapi juga perlu menghadirkan orang-orang yang memahami betul tentang dunia siber.Â
Ketika mendengar kata sastra yang muncul dalam pikirann kita adalah bentuk-bentuk karya imajinatif seperti puisi, cerpen, naskah drama, dan novel. "Tapi apa yang terjadi jika kita memikirkan sesuatu tentang siber?" Sampai pada pembahasan ini penulis sendiri menemukan sebuah tanda tanya yang besar. "Apakah ada kesalahan yang terjadi dalam pemberian istilah sastra siber?"
Pertanyaan-pertanyaan tentang sastra siber ini bukan hal yang remeh-temeh, melainkan sesuatu yang perlu mendapatkan sebuah keseriusan dan penyelesaian.Â
Pada kesempatan selanjutnya penulis akan mencoba mempertanyaakan kembali sastra siber dengan menampilkan data-data yang dibutuhkan. Dengan demikian penulis harap semua pertanyaan di atas dapat memberi pemantik kepada pembaca untuk memikirkan masalah ini, lalu kemudian menyelesaikannya bersama-sama.