Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tantangan Revolusi Industri Terhadap Konsepsi Keadilan

23 April 2022   23:06 Diperbarui: 29 Juli 2022   22:50 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Tonis Dzikrullah

Revolusi industri, bukan hanya merubah model bisnis, model pemerintahan, model masyarakat, tetapi sekaligus ikut merubah konsepsi kita soal keadilan. Konsep keadilan, di masa pra-kemerdekaan dipahami secara sederhana, cenderung bersifat personal. Masih menimbang ini-itu melalui ukuran dirinya sendiri. Pasca kemerdekaan, makna keadilan berubah. Keadilan dipahami bahwasanya, setiap orang, punya hak atas bagian yang sama dari pendapatan kolektif. Dan sekarang, ide mengenai keadilan itu mendapat tantangannya.

Apakah bisa dianggap adil, ketika kekayaan bumi Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, boleh dijarah oleh siapapun melalui azas kemajuan teknologi atau globalisasi? Apakah bisa dianggap adil, ketika driver ojol  pendapatannya UMR, sementara pemilik perusahaan dari keuntungannya bisa mengorbitkan satelit? Apakah bisa dianggap adil? dan seturut pertanyaan yang muncul akibat perkembangan saat ini, sudah seharusnya menjadi renungan kita bersama.

Masalahnya, yang ahli soal keadilan ini yang belum ada.  Di Indonesia, Renald Kasali misalnya, sebut saja sang motivator bisnis, ia juga tidak banyak membicarakan keadilan. Atau mungkin yang levelnya global, Noah Harari, sepertinya juga tidak banyak menyinggunh perihal konsep keadilan.

Dengan andai boleh usul ide serampangan, mungkin penting kiranya melakukan berbagai macam bentuk diskursus berikut dengan melibatkan massa yang besar untuk kemudian membicarakan perihal keadilan tersebut. Kalau perlu, zoom meeting tiap hari, atau mungkin live streaming 24 jam khusus untuk membahas konsep keadilan. 

Mungkin terkesan absurd, namun kita tau semangat kemerdekaan itu juga perkara keadilan. Pancasila bahkan menyebut keadilan itu sampai dua kali; "kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Kemudian Sumpah pemuda, isinya juga perihal keadilan, mana ada soal big data. Kek Opung aja.

Sosok Pramoedya itu kagum dengan kemajuan teknologi Barat, bahkan ia menyebut kalau Barat telah memindahkan kutub utara ke Hindia Belanda ketika import kulkas membanjiri Batavia. Tapi, kekaguman itu tidak kemudian membuat Pram tergila-gila dengan Barat, melainkan menyadari kalau kawan-kawannya masih banyak yang bergantung hidup dengan bansos, kalau kawan-kawannya sakit, masih mengandalkan BPJS. Intinya, kita butuh keterbukaan soal bagaimana sebenarnya negara mengelola hasil dari pendapatan kolektif itu. Ini Pasifik bung.

Keadilan itu bersifat praktis. Ia berupa metode, suatu cara untuk melihat ketersingkapan. Bukan utopia, melainkan suatu langkah sistematis sebagai upaya untuk melihat keseluruhan sistem yang sedang berada dalam kondisi tidak stabil. Apapun ukurannya, sekalipun bersifat subjektif mengenai sesuatu hal, yang khas human, pasti bisa didialogkan. Tanpa dialog, maka ia bukanlah keadilan.

Dan sekarang, ide keadilan sedang mendapat tantangannya. Salah satunya, yaitu konsep keadilan untuk melindungi ekosistem bisnis global dari negara pemilik kapital besar. Ekosistem bisnis global berkembang sedemikian rupa, melalui sarananya yang bernama demokrasi.

Untuk mempercepat proses demokrasi (baca globalisasi), negara satu dan yang lainnya pasti saling intai, saling memperhatikan, dan jika perlu ikut terlibat dalam proses demokrasi di suatu negara yang bukan negaranya. bukankah ini yang sedang dipertontonkan oleh Putin kepada kita?

Artinya bahwa suatu negara bisa langsung terlibat dalam proses demokrasi di negara lain. Uniknya, semua pihak saling baku tahan dan saling memahami kalau ekosistem bisnis global sekarang ini menuju ke arah saling ketergantungan. Outputnya, bakal melahirkan seabrek kerjasama, hampir di semua level. Jadi, jangan heran kalau nanti tentara Malaysia ikut mengamankan hutan Sumatera dengan alasan mencegah kebakaran hutan. Bagi kita, apakah itu suatu bentuk keadilan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun