Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kosmetika Pendidikan di Republik Sulap

16 September 2020   17:18 Diperbarui: 2 Mei 2021   11:07 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Muhamad Tonis Dzikrullah

Budaya kontemporer telah masuk ke sektor gaya hidup masyarakat, khususnya sektor pendidikan. Sebagai akses pintu masuk paling mudah untuk mengemas embel-embel "Perubahan". Pendidikan di negeri ini sudah seperti salon, yang berfungsi sebagai tempat merawat dan memoles kecantikan pelanggannya. Siapa yang datang, bakal di make over seperti selebritis amatiran.

Carut-marut wajah pendidikan semakin absurd. Tri Dharma perguruan tinggi sudah menjadi batu nisan atau monumen yang hanya pantas untuk dikenang dan diabadikan. Lorong-lorong kampus menjadi sedemikian sepi dari pembahasan mengenai isu-isu masa kini, bedah buku hingga diskusi sejarah.

Ada pun yang membuat ramai sudut-sudut kampus adalah mereka yang sedang duduk-duduk santai di gazebo-gazebo kampus untuk sekedar berkutat dengan tugas maupun makalah lomba atau suara-suara riuh dari dalam ruang-ruang kelas yang melibatkan para mahasiswa dalam suatu perdebatan tentang acara-acara talkshow atau event-event panggung yang sedang dirancang.

Konstruksi pendidikan dan kehidupan seputar kampus telah direduksi dan berhenti pada pemahaman bahwa kampus hanya bangunan tembok yang terdiri dari campuran batu dan semen sebagai tempat untuk sekedar mencetak nilai-nilai yang terangkum dalam istilah Indeks Prestasi Kumulatif demi terciptanya manusia-manusia yang pada akhirnya akan menjadi mesin dari kapitalisme.

Mahasiswa tak lagi memiliki ruang-ruang untuk berdialektika sebab kampus tak lagi menjalankan fungsinya dengan baik. Inilah yang menyebabkan kaum terpelajar tak lagi menyadari perannya dalam masyarakat, tak menyadari adanya persoalan yang harus dikaji dari akarnya hingga tak menyadari kewajibannya untuk berpikir secara radikal dan menentukan keberpihakannya dalam alam kapitalistik yang semakin menggoncang kedaulatan negara dan mengoyak masyarakat miskin yang membutuhkan keberpihakan.

Semestinya kita semua sepakat bahwa Mahasiswa merupakan tonggaknya sejarah suatu bangsa, maka apapun alasannya, sungguh tidak dapat dibenarkan apabila mahasiswa harus kehilangan idealisme dan radikalisme-nya.

Era milenial seharusnya menjadi suatu era dimana mahasiswa mampu menjadi agen perubahan yang ada di dalam masyarakat dengan berbagai teknologi dan kemudahan yang ada di seluruh segi kehidupannya, tapi yang ada justru menjadi budak yang semakin menjurangi rakyat dengan kesejahteraan.

WS. rendra pernah berkata, "Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata." Sekiranya benar kata-kata tersebut, sebab apa artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan?

Terlebih, Pendidikan di masa mendatang bukanlah berorientasi pada transformasi pengetahuan semata, melainkan mampu mengembangkan peserta didiknya untuk berproses mulai dari bagaimana ia menggali informasi untuk kemudian menganalisisnya menjadi satu rangkaian kesimpulan. Maka jelas sudah, bahwa inovasi dan kreasi dapat tercapai jika sosialisme yang diwujudkan tidaklah menjerumuskan manusia ke dalam tirani kolektivisme.

Oleh; Muhamad Tonis Dzikrullah

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun