Ketiga, menurut Muhsin Labib, orang yang mempercayai mahiyah sebagai kemendasaran realitas adalah orang yang tidak mempercayai dan meyakini adanya Tuhan. Karena menurutnya, pengetahuan atas mahiyah itu merupakan sesuatu yang berdimensi atau beruang, sehingga ia masih terjebak dalam ruang yang bersifat materi. Padahal jika kita mau memahami bahwa menurut Mulla Shadra wujud itu tidak berdimensi dan tidap pula beruang, justru dimensi-dimensi ini ada, karena kita melihat wujud. Wujud merupakan penyebab dimensi-dimensi ini ada, wujud dan dimensi-dimensi itu bersandingan.Â
Tidak ada sesuatu selain wujud, karena wujud itu lebih jelas dalam hal apapunn. Kemudian, keragaman yang terlihat ini tidak lain adalah bagian-bagian dari wujud, sehingga yang sangat berpengaruh tidak lain adalah wujud itu sendiri, termasuk konsepsi kita sendiri adalah bagian dari wujud, termasuk persepsi tentang tuhan. Kata tuhan "T U H A N" itu sendiri adalah mahiyah, sehingga tuhan adalah salah satu yang mengisi sudut dalam ruang. Dari situlah ada yang menjadi atheis karena ia tidak mau berpikir di luar ruang. Nama Tuhan, handphone, pohon, hanyalah ada dalam pikiran, padalah dalam wujudnya semuanya itu hanyalah ada.
Perihal konsep wujud itu hanya satu, adapun keberagaman itu hanyalah berbeda dari segi misdaq-misdaqnya saja, sehingga dapat dipahami bahwa keberagaman itu tergabung dalam satu kesatuan konsep wujud, seperti wujud tuhan, wujud manusia, wujud hewan sama-sama satu konsep wujud, yang berbeda hanyalah misdaq. Maka dari itu, kelompok ini dikatakan sebagai penganut ashalatul wujud, karena mereka meyakini bahwa wujudlah yang hakiki dan bersifat objektif.
Sebagaimana yang sudah penulis paparkan di atas bahwa seseorang yang meyakini mahiyah sebagai sesuatu yang memberi effek dalam realitas karena ia tidak mau berfikir di luar dimensi, dan hal itu berimplikasinya cenderung bersifat material. Kesadaran akan ashalatul wujud sebetulnya menentukan sikap manusia dalam menjalani hidupnya.Â
Justru sebetulnya adanya ruang itu kita yakin ada yang tak beruang. Beruang mengimplikasikan adanya keterbatasan, dan karenanya maka kita yakin sebetulnya ada yang membatasi. Maka dari itu ada baiknya kita harus berpikir di luar ruang, dan itu adalah wujud, karena wujud itu tidak terbatas dan ia sangat jelas jika kita mau mempersepsinya.Â
Wujud adalah hal yang mendasar dan ia merupakan suatu yang bersifat objektif dan hakiki di realitas eksternal. Maka dari itu dapat dikatakan bahwa penganut ashalatul wujud adalah orang-orang yang dalam berpikirnya tidak melulu bersifat material, melainak ia lebih banyak berpikir di luar ruang. Mahiyah tidak akan mewujud jika tidak adanya wujud. Maka dari itu mahiyah dapat dipahami sebagai sesuatu yang i'tibar yaitu hanya bersifat konseptual belaka.
Daftar Pustaka
Kamus Mutarjim V1.2, 2014
Gharawiyan, Mohsen, Pengantar Memahami Daras Filsafat Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2012).
Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Buku Daras Filsafat Islam, (Jakarta: Sadra Press, 2010).
Notulensi Mata Kuliah Filsafat Islam II oleh Muhsin Labib, Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Jakarta.