Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Narasi Profesi Guru

26 November 2018   12:35 Diperbarui: 26 November 2018   13:02 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada sebuah adagium yang berbunyi: al-thoriqotu ahammu min al maddah, metode (pebelajaran) itu lebih penting daripada materi. Namun, al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-thariqoh, guru itu jauh lebih penting dari pada keduanya. Ungkapan ini menegaskan bahwa sebaik apapun kurikulum, secanggih apapun metode dan media pembelajaran yang digunakan, kalaulah gurunya tidak mempunyai karakter pembelajar, maka sulit untuk mewujudkan tujuan pendidikan. 

Guru merupakan peran sentral dalam pendidikan. Meskipun dewasa ini banyak model pembelajaran yang menekankan pada pada siswa sebagai pusat pembelajaran, namun tetap saja tidak bisa meninggalkan peran guru sebagai ruh pembelajaran itu sendiri.

Sistem pendidikan kita meniscayakan keberadaan guru yang kompeten dan profesional. Hal ini ditunjang oleh semangat sertifikasi, yang memungkinkan guru untuk mendapatkan tunjangan kompetensi, dengan syarat dan ketentuan berlaku. 

Sayangnya program yang sedianya untuk meningkatkan kompetensi guru ini, mengalami distorsi tujuan. Banyak yang menempatkan sertifikasi sebagai "tambahan' pendapatan saja. Bahkan tak jarang sertifikasi ini mampu merubah gaya hidup guru, banyak kelompok guru yang mentasyarufkan tunjangan serifikasi ini untuk peningkatan gaya hidup.

Alokasi 20 persen APBN untuk pendidikan sudah hampir berjalan selama 10 tahun. Selama itu pula peningkatan kompetensi guru senantiasa digenjot. Berbagai pelatihan, diklat, workshop dilakukan untuk upaya ini. Infra struktur sekolah dan madrasah tentunya mengalami peningkatan yang signifikan. Pengadaan buku, hampir tiap tahun ganti. 

Tidak seperti dua puluh tahun yang lalu, buku selama bertahun-tahun sama, bahkan diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak ada lagi sistem pembelajaran yang menuliskan materi di papan tulis, karena setiap siswa sudah punya materinya, sudah mendapatkan buku secara gratis. Ini barangkali satu sisi "kemajuan" pendidikan kita yang pantas untuk diapresiasi. 

Namun sekali lagi, jika tidak diimbangi dengan spirit dan dedikasi guru, tampaknya hanya akan menjadi pepesan kosong belaka. Saya ingin melanjutkan klausul ketiga dari adagium di atas, yang lebih penting dari semua itu, kurikulum, metode dan guru, adalah ruh guru itu sendiri, bal ruh al-mudarris ahammu min al-mudarris nafsahu.

Guru adalah pilar peradaban bangsa. Itulah mengapa, konon ketika kota Hirosima dan Nagasaki di bom atom oleh Sekutu, pertanyaan yang terlontar dari Kaisar adalah "berapa jumlah guru yang tersisa?". Bukan berapa jumlah panglima dan tentara yang menjadi kekhawatiran akan kehancuran dan kekalahan sebuah perang. Dan recoveri Jepang akibat kekalahan dalam perang dunia kedua ini tidak membutuhkan waktu yang lama.

Penghormatan terhadap guru dalam masyarakat tradisional memposisikan guru sebagai sosok yang benar-benar digugu dan ditiru. Wibawa guru merupakan reward yang diberikan masyarakat karena dedikasi dan keikhlasannya. Sehingga seorang murid akan lebih segan terhadap guru daripada kepada orang tua. 

Karena murid tidak merasa "membeli" guru, namun gurulah yang tulus melakukan pengajaran. Hal ini diperkuat dengan ajaran agama yang menempatkan guru di posisi tertinggi. Dalam salah satu kitab klasik pembelajaran misalnya, disebutkan bahwa prasyarat pencapaian ilmu meniscayakan 6 hal, yang salah satunya adalah adanya seorang guru. 

Hal ini menegaskan, tidak mungkin pembelajaran dilakukan secara otodidak. Penghormatan terhadap guru sangatlah luar biasa, sampai-sampai Sahabat Ali bin Abi Thalib mengatakan, aku adalah hamba (budak) seseorang yang mengajarkan satu huruf dari ilmu pengetahuan.

Namun ketiga guru menjadi profesi, kewibawaan itu kian memudar. Guru sudah dianggap sebagai pekerjaan, tidak lebih dari itu. Karena pekerjaan, maka majikannya adalah yang membayar. Guru sudah dihargai dengan materi, sebagai profesi profesionalismenya. Akibatnya, tidak sedikit para siswa -- dan orang tuanya -- yang merasa sudah membayar guru, sehingga memposisikannya sebagai pekerjanya. 

Guru seakan "pembantu" yang bekerja di sekolah, ketika siswa merasa "didholimi" segera lapor kepada orang tua yang seakan majikannya. Sehingga tidak sedikit guru yang menjadi korban kekerasan orang tua, atau kalau tidak mereka dikriminalisasikan atas nama HAM dan perlinduangan anak.

Atas dasar semua ini, negara harus bertindak. Meskipun guru dianggap sebagai profesi, harus dipahamkan bahwa profesi tersebut adalah mulia. Negara harus menempatkan guru di posisi agung, sembari guru harus sadar, bahwa dirinya adalah profesi yang mulia, sehingga menghindarkan diri dari prilaku yang tidak terpuji. Untungnya, beberapa waktu lalu ada edaran dari MA tentang larangan kriminalisasi guru. 

Sehingga guru bisa mengekpresikan profesiya secara bebas dan kreatif, tanpa harus khawatir dikriminalisasi, karena ada perlindungan profesi. Kita yakin bahwa guru juga manusia, mereka mempunyai kelemahan dan kelebihan. Dan dengan sisi kurang dan lebihnya inilah mereka akan mampu memanusiakan manusia, mencerdaskan kehidupan bangsa. Dirgahayu guru Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun