Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Syawalan, antara Agama dan Diaspora Budaya

19 Juni 2018   06:29 Diperbarui: 19 Juni 2018   17:39 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunungan Ketupat| Sumber: kompas.com/Raditya Mahendra Yasa

Secara umum, agama mempunyai dua dimensi, yakni ideal dan faktual. Jika dimensi pertama berkaitan dengan sumber ajaran agama, maka dimensi kedua adalah kenyataan empiris di mana agama tersebut dipraktikkan. Dimensi kedua ini mempunyai tipologi yang meruang waktu, berjalin-kelindan dengan relaitas sosial di mana ummat beragama itu hidup.

Kenyataan inilah yang mengantarkan pada karakteristik keberagamaan yang majemuk dan variatif. Dalam konteks Islam, implementasi ajaran ini mempunyai corak praktis yang universal, sesuai dengan setting sosial yang ada. Di sinilah budaya menempati titik relevansinya, dalam rangka bersinggungan dengan ajaran agama. Budaya dalam kerangka pikir ini adalah produk kreatifitas manusia, yang juga bertautan dengan semua dimensi kehidupan manusia.

Tradisi syawalan barangkali adalah salah satu contoh singgungan antara agama dan budaya. Meminjam teori antropologi, tradisi syawalan ini termasuk pada apa yang disebut sebagai the great tradition, tradisi besar. Hal ini didasarkan pada universalitas perayaan syawalan di berbagai daerah, setidaknya pada masyarakat Jawa.

Dengan berbagai penyebutan dan istilah -misalnya kupatan - tradisi satu minggu pasca lebaran ini hampir dirayakan oleh masyarakat di berbagai daerah, khusunya masyarakat pesisir.

Fenomena syawalan adalah produk budaya yang telah berkombinasi dengan tradisi agama. Pemilihan tanggal dan bulan, yakni bulan syawal dan seminggu pasca Idul fitri adalah indikator nilai ajaran agama. selain itu di berbagai daerah, tradisi syawalan selalu diiringi dengan ritual agama, seperti pembacaan tahlil dan doa-doa islami.

Akulturasi agama-budaya dalam hal ini adalah bentuk faktualisasi ajaran agama ke wilayah empiris. Di Jawa, walisongo adalah prototype penyebar agama yang menggunakan strategi akulturasi. Penggunaan simbol tradisi sebagai bagian dari media dakwah menjadi strategi dalam membumikan nilai islam. Sunan Kalijogo misalnya, menggunakan konsep wayang sebagai media mentransformasikan nilai-nilai ajaran islam.

Pakaian adat jawa -- sebagaimana visualisasi "gambar" Sunan kalijogo yang selama ini beredar - dalam hal ini menjadi citra diri Sunan Kalijogo, sebagai upaya membaur dengan identitas masyarakat. Hal yang serupa juga dilakukan oleh Sunan Kudus. Penghormatan yang besar terhadap tradisi lokal menjadi upaya menarik simpati masyarakat.

Arsitektur khas Hindu yang kita dapatkan dari bangunan Menara barangkali adalah simbol, bagaimana pendekatan budaya menjadi pilihan dalam melakukan penyebaran agama. Menara boleh jadi merupakan satu bukti fisik yang terwariskan, dari banyak akulturasi yang pernah dilakukan oleh para Walisongo.

Gusdur pernah menyebut gerakan ini sebagai pribumisasi islam. Pribumisasi ini meniscayakan adanya internalisasi Islam sesuai dengan konteks lokal yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjadi muslim, seseorang masih bisa melakukan warisan tradisi yang selama ini dipercayainya, tentunya dengan catatan, tidak bertentungan dengan prinsip dasar islam itu sendiri.

Istilah pribumisasi Islam pada dasarnya adalah respon dari gerakan islamisasi pribumi yang semakin marak. Ironisnya, islamisasi yang terjadi hanya bersifat formalitas dan uniformalitas belaka. Sehingga lebih tepat untuk disebut Arabisasi pribumi daripada Islamisasi pribumi. Dan ini, terang saja akan menghilangkan substansi ajaran Islam itu sendiri, karena tertutup oleh formalitas islam yang kearab-araban.

Sumber: https://menembuscahaya.wordpress.com
Sumber: https://menembuscahaya.wordpress.com
Beragama dalam Kearifan Tradisi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun