Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Desakralisasi Bumi Manusia

28 Mei 2018   09:51 Diperbarui: 29 Mei 2018   10:43 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

"Kita kalah, Ma," bisikku.

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya"

Bagi penggemar Pramudya Ananta Tour, pasti tahu --bahkan hafal-- dialog di atas. Ya, dialog tersebut merupakan dialog penutup novel pertama dari Tetralogi Buru, Bumi Manusia. 

Novel Bumi Manusia akhir-akhir ini ramai diperbincangkan, pasalnya magnum opus sastrawan legendaris Pramoedya ini akan diangkat ke layar lebar. Sebagaimana fenomena adaptasi pada umumnya, akan melahirkan distorsi dan anomali dari karya novel yang akan diangkat menjadi film.

Ketika dua novel pertama Pram, Bumi manusia dan Anak semua Bangsa diteaterkan beberapa waktu lalu melalui tajuk "Bunga Penutup Abad", ada semacam "perampasan imajinasi" dari para pembaca, setidaknya bagi saya. Meskipun dperankan oleh para artis dan pemain teater handal seperti Reza Rahardian (Minke), Happy salma (Nyai Ontosoroh), Chelsea Islan (Annelies) dan Lukman Sardi (Jean Marais) tetap saja karakter tokoh besutan Pram ini tidak bisa termanifestasikan penuh ke dalam akting para pemain. 

Hal ini lumrah, mengingat novel adalah karya sastra non visual, di mana sang pembaca bebas mengimajinasikan karakter tokohnya masing-masing, demikian plot, latar dan alur nya.

Sebelum pementasan "Bunga Penutup Abad", saya memiliki imajinasi sendiri tentang tokoh-tokoh novel tersebut. Minke yang cerdas, berani dan philogenik. Kecantikan dan keanggunan Annelies yang khas gadis indo. Atau sosok Nyai Ontosoroh, wanita tegar yang bahkan sulit digambarkan karakternya melalui kata-kata. Setelah melihat cuplikan pentas "Bunga Penutup Abad" ini, imajinasi pada semua tokoh inipun runtuh. 

Seakan dipaksa mengikuti visualisasi Minke melalui Reza Rahardian dengan kumis lancip khas bangsawan masa kolonial. Ok, visiualisasi tokoh barangkali sudah melalui riset, kajian dan pembacaan yang dalam. 

Namun tetap saja, visualisasi itu merusak daya bebas imajinasi yang tak terikat ruang waktu. Apalagi pementasan tersebut setelah Sang maestro wafat, sehingga tidak melalui konfirmasi dengan penulis, sebagaimana adaptasi novel-film yang biasanya dilakukan.

Ketika diangkat ke dalam film, maka akan ada banyak distorsi yang mungkin terjadi. Selain karakter tokoh yang tentu saja akan mengalami distorsi, faktor setting juga menjadi tantangan yang sangat berat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun