Mohon tunggu...
Pakde Amin
Pakde Amin Mohon Tunggu... Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Belajar menikmati dan memaknai kehidupan melalui kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Humor Sufi: Mutiara Puasa (Luluh dalam Makna)

5 April 2023   11:30 Diperbarui: 5 April 2023   11:26 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Luluh dalam makna merupakan kelanjutan dari tulisan kami dalam bulan pun luluh yang membahas mengenai pemaknaan bulan yang banyak digunakan untuk menentukan waktu.  Namun dalam bulan penuh makna memberikan sebuah pandangan yang berbeda tentang hakekat dari bulan yang selama ini menjadi pembatas diri dalam beraktivitas. Arti yang berbeda dalam memaknai adanya sebuah bulan bukanlah sebuah perbedaan  yang perlu diperdebatkan melainkan menjad khasanah untuk menambah pemahaman tentang pengetahuan yang ada di sekitar kita.

Ketika ada atau hadirnya sebuah informasi baru yang mungkin berbeda dengan pemahaman baru tugas diri bukanlah menutup atau berteriak dan menjustifikasi bahwa hal yang baru adalah salah. Namun perlu di renungkan bahwa sesuatu yang baru mungkin dapat digunakan sebagai obat diri untuk melakukan perenungan yang mendalam tentang "kebuntuan" kondisi yang ada.  Hal ini perlu dilakukan karena mungkin dalam ketidaksadaran selama ini banyak batasan pemahaman diri  yang mempengaruhi kondisi kehidupan diri.

Diri yang memiliki pendapat seperti ini adalah hakekat diri sebagai manusia yang terbuka dan memiliki hati yang bersih. Namun banyak yang diri sangat "alergi" dengan sesuatu yang berbeda karena dianggap sebagai sesuatu yang aneh bahkan sebagai hal yang akan mengancam posisinya.  Diri yang demikian biasa bertingkah seperti katak dalam tempurung akibat kepemilikan pemahaman atau kesadaran hidup yang rendah.

Pembangunan kesadaran diri adalah sebuah proses pembangunan diri yang dilakukan dengan selalu baca dan belajar terhadap fenomena yang terjadi.  Pembelajaran atas fenomena yang ada biasanya dihubungkan dengan teori-teori yang sudah mapan dan diakui kebenarannya. Langkah ini tidak salah namun mungkin sebagai bentuk kemalasan diri untuk menelusur pada basic pengetahuan yang ada dan diberikan oleh Sang Pencipta jarang sekali dilakukan.

Kebiasaan diri yang selalu menyunting karya orang lain bahkan menjadi prioritas atau bahkan rujukan primer dan mungkin dikatakan hal yang paling valid dan ilmiah (science method).  Namun ketika diri hanya berargumen "kata orang" apakah ini sebagai bentuk pemahaman dan menunjukkan diri luluh dalam makna?  Maka tidak heran jika prilaku diri selalu meniru orang lain akibat kebiasaan yang seperti itu bahkan mungkin dapat dikatan bahwa diri hidup dalam diri orang lain.

Demikian juga dalam hubungannya dengan prosesi ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Rujukan-rujukan yang ada dan selama ini digunakan sebagai dasar dalam beraktivitas memang sebuah 'kebenaran".  Karena malasnya diri untuk membuka-buka buku atau kitab yang ada menjadikan diri memiliki pengetahuan yang dikatakan sebagai "pemahaman kata orang". Dan ketika diri memahaminya pun diri luluh dalam pemahaman kata orang bukan pemahaman yang didasarkan atas kepemilikan ilmu yang sebenarnya dimiliki.

Sehingga ibadah diri dapat dikatakan hanya seperti meniru dan tanpa luluh dalam makna.  Sebuah aktivitas yang tanpa makna biasanya sebuah ritual fisik atau jasmani dan tidak ada unsur jiwa atau non fisik yang mendasarinya.  Ibarat melakukan puasa hanya sekedar ritual menahan keinginan perut dan syahwat namun melupakan hakekat inti yang ada di dalamnya.  Sebuah kerugian manakala diri bertindak seperti ini.

Luluh dalam Makna

Kekosongan salah satu sisi atau bagian akibat diri melupakan hakekat keseimbangan yang harus diraih setiap diri manusia menjadikan diri hidup dalam orientasi yang kurang benar.  Ketidak benaran ini sebuah kerugian yang diluar kendali diri akibat dari kemalasan dalam belajar untuk menjadi diri manusia yang sebenarnya. Karena diri tidak pernah mau mencari keseimbangan karena sangat percaya dengan pendapat orang lain atau lebih parahnya jika hanya percaya pada "bisikan" saja.

Tidak mungkin pemahaman orang lain disampaikan ke khalayak umum mulai dari muatan motivasi sampai proses menemukannya sebuah pemahaman itu.  Karena ibarat sebuah masakan yang disajikan adalah hidangan yang lezat dan resep serta cara memasaknya dengan benar, namun mereka akan menyembunyikan hal hal yang dianggap tabu untuk disampaikan atau disajikan.  Maka yang nampak adalah hal yang spektakuler dan enak saja yang pantas dan bernilai.

Padahal mereka menemukannya setelah diri luluh dalam makna yang terdalam dengan disertai keseimbangan antar keburukan dan kebaikan.  Dengan kata lain bentuk keseimbangan tidak dimunculkan karena yang dimunculkan adalah kritikan atas kondisi sebelumnya saja.  Maka tugas diri harus beraktivitas seperti mereka dalam memahami pengetahuan yang akan digunakan sebagai dasar untuk aktivitas dalam kehidupan diri kita.

Diri yang luluh dalam makna bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.  Namun untuk menjadi hal yang seperti itu memang dibutukan sebuah perjuangan yang berat bahkan mungkin dapat diasingkan karena memiliki jalan yang berbeda agar bertemu dengan alur pemahaman yang benar. Istilah diasingkan bahkan sampai dikatakan orang gila adalah lebel yang pantas disandang oleh mereka yang ingin "luluh dalam makna" karena dianggap berbeda jalan yang dilakukannya.

Luluh dalam makna adalah sebuah kenyataan-kenyataan bersifat ruhani (non fisik) yang muncul pada diri manusia dalam bertindak.  Sehingga yang dilakukan merupakan bentuk kemanunggalan diri dalam keseimbangan atau kesempurnaan sebagai manusia sejati.  Kemanunggalan atau kesempurnaan itulah yang akan memberikan "kelezatan" kehidupan dengan kepemilikan pemahaman yang sempurna karena perpaduan antara unsur ruhani dan fisik, dan mengakibatkan jiwa diri hidup dalam jiwa aktivitas yang dilakukan.

Luluh dalam makna puasa merupakan kehadiran jiwa yang dimiliki setiap diri manusia dalam melakukan ibadah puasa dan menjadikan puasa sebagai bentuk pencarian dan pengawalan jiwa dalam melakukannya.  Tidak hanya sekedar menahan keinginan perut dan syahwat yang dimiliki namun sebagai bentuk menemukan aktivitas penemuan jiwa-jiwa yang lapar dan segera butuh berbuka untuk mendapatkan asupan.  Karena selama ini diri dikuasai oleh asupan-asupan materi saja namun melupakan asupan-asupan ruhani yang sebetulnya merupakan alur untuk menuju hakekat manusia sejati.

Bulan pun Luluh

Puasa yang biasanya dibatasi oleh kehadiran oleh bulan secara fisik memang hanya sebuah periode waktu tertentu yang ditetapkan.  Pembatasan waktu ini sebuah makna yang fisik karena hanya melihat dunia materi atau jasadiyah saja.  Pemahaman ini akan benar manakala diri tidak mampu luluh dalam makna. 

Namun manakala diri mampu luluh dalam makna dengan hadirnya kenyataan-kenyataan yang bersifat non fisik akan menemukan sebuah rekonstruksi makna yang luas.  Puasa tidak hanya sekedar pengkondisian waktu dan perjalanan diri dalam lintas dimensi waktu pun juga akan ditemukan manakala diri mampu menghadirkan jiwa dalam melakukan ibadah puasa. Sebuah kemudahan dan keistimewaan puasa betul-betul terlihat manakala diri mampu mencapai hal tersebut

Hadirnya jiwa dalam diri yang diberikan oleh Sang Pencipta dan dibutuhkan oleh setiap manusia diperlukan agar diri mampu luluh dalam makna di bulan puasa ini. Hal ini akan mengakibatkan bulanpun luluh karena waktu adalah menjadi tiada terbatas.  Manakala diri dalam kondisi yang demikian maka diri adalah menjadi pribadi yang tiada terbatas.

Pemahaman tentang pengkondisian waktu yang selama ini menjadi acuan dalam memaknai ibadah yang dilakukan akan menjadi semu.  Karena waktu hanyalah sebatas irama dalam mencari asupan untuk kebutuhan keseimbangan diri. Dimana satu sisi adalah menekan asupan yang bersifat materi namun disisi lain adalah memberi kelonggaran agar asupan non materi atau ruhani mampu masuk dengan sebanyak-banyaknya.

Banyaknya ruang kosong yang bisa dimaksimalkan untuk berkembangnya jiwa manusia menjadi diri manusia yang hidup ditengah kehidupan.  Karena jiwa inilah yang sebetulnya merupakan hakekat kehidupan diri yang sejati sebagai manusia yang sempurna Manakala jiwa tak mampu hidup dan berkembang maka diri adalah seperti robot yang bisa diperintah oleh perut dan syahwat ataupun seperti manusia yang bukan hakekat manusia sejati.

Dan ini menjadikan waktu siang dan malam bukan merupakan pembatas untuk aktivitas berpuasa melainkan sebagai bentuk bagaimana diri hidup "sebagai" manusia yang seimbang. Hal ini dikarenakan selama ini kehidupan diri hanya diorientasikan dalam kehidupan yang hidup dalam dunia fisik saja akibat terpenjara dalam pemahaman yang dimiliki.

Sedangkan pemahaman tentang lintas dimensi memberikan gambaran yang non fisik tentang bagaimana diri mampu menangkap dibalik keterbatasan waktu yang ada.  Hadirnya jiwa dalam memahami lintas dimensi yang ada dalam bulan puasa ini adalah bentuk "nilai majemuk" dari pelipatan nilai ibadah yang diberikan oleh Sang Pencipta.  Namun manakala diri tak mampu menangkapnya maka jiwa tak akan menemukan nilai majemuk yang terjadi.

Gambaran dari nila majemuk itu salah satunya adalah  terdapat sebuah malam keistimewaan yang memiliki nilai seribu bulan.  Tidak mungkin diri manusia mampu mencapainya manakala diri hanya berfokus pada ibadah di hari-hari tertentu tanpa memiliki jiwa untuk mampu menangkapnya. Maka pentingnya pemahaman tentang yang komprehensip bahwa menghadirkan jiwa dalam bulan puasa adalah sangat penting.

Nilai majemuk juga berarti sebuah perubahan tentang dimensi ruang dan waktu dalam kehidupan.  Ini menandakan bahwa realita kehidupan yang dijalani di alam dunia memiliki persamaan nilai dengan dimensi tempat lain.  Kesadaran diri dalam memahami dimensi ruang waktu dibutuhkan jiwa yang mumpuni karena tidak semua diri mampu menangkap hal-hal di balik itu.  Hanya diri manusia pilihan yang mampu menembus ruang tersebut yang diibaratkan sehari kehidupan di dunia sama dengan sehari kehidupan di akhirat atau seribu bulan kehidupan di dunia.

Jiwa inilah sebetulnya merupakan kepemilikan dari diri manusia yang yakin tentang keberhasilan diri dalam kehidupan di dunia.  Karena jiwa juga akan mempertanggungjawaban aktivitas yang dilakukan di dunia ini. Diri yang tidak memiliki jiwa adalah manusia yang selalu berorientasi pada fisik semata.

Penutup

Hanya humor sufi tentang luluh dalam makna yang mengajak diri untuk selalu memahami bahwa setiap aktivitas kehidupan di dunia ini perlu menghadirkan jiwa yang dimiliki.  Tidak ada yang lucu dan pantas untuk ditertawakan dalam tulisan ini, namun yang pantas ditertawakan adalah perbedaan tentang pemahaman yang ada. 

Diri hidup untuk selalu luluh dalam makna-makna... Hingga diripun mampu sewarna dengan Dia...  Jika diri adalah air maka makna adalah pemanisnya..  Karena hidup yang terjadi tak pernah menjadi hambar.
Diri hidup untuk selalu luluh dalam makna-makna.. Hingga diripun akan mampu menemukan jiwa.. Karena kapal jasadku butuh kehadirannya.. Agar diri tak tenggelam pada eloknya dunia yang fana.
Diri hidup untuk selalu luluh dalam makna-makna... Jika diri hidup dalam lautan api yang membara... Maka keluar tidak akan menjadi gosong karena bara.. Tapi menjadi emas yang diperebutkan setiap manusia
Namun bukan itu yang dicari.. Karena diri hanya ingin hidup dijalan Illahi.

Magelang, 4/4/2023

Salam

KAS

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun