Mohon tunggu...
Muhajir Arrosyid
Muhajir Arrosyid Mohon Tunggu... dosen -

Warga Demak, mengelola tunu.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sastra Kita Merekam Prostitusi

3 November 2015   06:54 Diperbarui: 3 November 2015   07:48 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari-hari ini kita dihebohkan dengan terungkapnya kasus prostitusi yang melibatkan artis ibu kota. Muka prostitusi yang dulunya tergambar miskin, menjadi korban sehingga layak dibela oleh sastrawan, sekarang ini tercitrakan wangi, dengan penghasilan tinggi.

Prostitusi adalah sebuah bisnis. Selayaknya sebuah bisnis maka ada pekerja, penjual, dan pembeli. Pekerja dikenal sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), mengacu pada nama ini maka prostitusi adalah seks yang diperdagangkan. Seks yang selazimnya dilakukan suami-istri dalam ikatan pernikahan oleh bisnis ini diperdagangkan. Sastra kita telah mendokumentasikan laku prostitusi ini dalam segala bentuk, masa, dan ekspresi. Jejak prostitusi itu diekpresikan oleh pengarang baik melalui puisi maupun prosa.

W. S. Rendra dalam Blues untuk Bonnie (Penerbit Tjupumanik, 1971) menarasikan prostitusi dalam puisi yang berjudul “Bersatulah Pelatjur-Pelatjur Kota Djakarta”. Dalam puisi ini Rendra mengabarkan bahwa pelacur itu punya tingkatan, tingkat atas dan tingkat bawah. Ia juga menyampaikan bahwa penyebab pelacuran antara lain: /lantaran kelaparan yang menakutkan/kemiskinan yang mengekang/dan telah lama sia-sia cari kerja/. Dalam puisi ini juga disebut menteri, politisi, dan pegawai tinggi yang juga pengguna prostitusi dan kongres-kongres dan konperensi tak pernah berdjalan tanpa kalian (pelacur). Sajak Rendra ini masih menohok dibaca hari ini, melihat sikap masyarakat yang menuduh kalian (pelacur) sumber bentjana negara dan oleh pemerintah prostitusi ini terkesan dipolitisasi untuk menutupi kegagalan-program pemerintah. Kata Rendra: Mulut-mulut budut, mulut-mulut jang latah, Bahkan sex mereka perpolitikan.

Puisi dengan nada gugatan juga disampaikan F. Rahardi dalam buku Pidato Akhir Tahun Seorang Germo, Sekumpulan Sajak (Pustaka Sastra, 1997) dalam sajak dengan judul yang sama dengan judul bukunya. Jika puisi W.S. Rendra disampaikan dengan naga keras dan marah, puisi F. Rahardi yang dibuat pada 28 Desember 1991 hingga 3 Januari 1992 ini kritik disampaikan secara humor. Dalam sajaknya itu F. Rahardi membicarakan tentang posisi pelacur dalam masyarakat, persinggungannya dengan dunia politik, dan kebudayaan. Lihat saja penggalan sajak berikut: Bahwasanya Anda-anda itu lonte dan lonte itu profesi bukan politik. Jadi dalam memberikan servis Anda semua tidak boleh melihat pelanggan dengan kacamata politik. Jangan memperhatikan tanda gambar di jidat pelanggan. Posisi pelacur adalah penyebab malapetaka, sama dengan puisi Rendra, F. Rahardi mengatakan: Konon lonte adalah agen sipilis, bandar G.O. bahkan juga calo AIDS. Di penggalan lain terkatakan: dan ibu kita Kartini memang tidak pernah bercita-cita agar putri-putrinya pada jadi lonte.

W.S. Rendra dan F. Rahardi menggunakan pelacur sebagai cara untuk mengkritik, dari mata dan sudut pandang pelacur diungkaplah ketidakadilan, pelacur sebagai korban pembangunan yang disampahkan.

Bentuk prostitusi yang berbeda ditunjukkan oleh Agus Vrisaba dalam buku kumpulan cerpannya Dari Bui Sampai Nun (Kompas, 2004) dalam cerpen yang berjudul “Komang Pirang”. Jika biasanya Pekerja Sek adalah perempuan dalam cerpen ini ditunjukkan pekerja sek laki-laki. Cerpen ini memberi perbendaharan pengetahuan kita tentang prostitusi: Dia itu kan kerjanya di Kuta, mencari-cari turis perempuan yang sedang kesepian. Orang bilang namanya gigolo. Tidak ada gugatan nasib menjadi pekerja sek dalam cerpen yang dimuat pada 5 April 1987 ini. Nyoman tampak menikmati pekerjaanya tersebut.

Bentuk prostitusi yang lain lagi disajikan oleh Eka Kurniawan dalam Perempuan Patah Hati yang Kembali Menemukan Cinta Memalui Mimpi (Bentang, 2015) dalam cerpen “Penafsir Kebahagiaan”, kita diperlihatkan praktik prostitusi yang beda. Mahasiswa Indonesia di Amerika menghadirkan pembantu dari Indonesia di apartemennya untuk bisa ‘dipakai’ secara terjadwal.

PSK tidak lagi seperti yang digambarkan oleh Ahmad Tohari dalam cerpen “Nyanyian Malam” yang memperlihatkan posisi pekerja Sek barnama, Jubris yang melakukan pekerjaan tersebut karena terdesak oleh keadaan ekonomi, masyarakat menolak keberadaannya. PSK saat ini seperti yang digambarkan oleh Eka Kurniawan dalam cerpen-cerpennya dan seperti berita-berita yang beredar saat ini: pekerja sek itu bersih, wangi, berpenghasilan tinggi karena sekali kencan 10 juta, mereka tidak sembunyi-sembunyi tetapi percaya diri tampil di dinding media sosial.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun