Mohon tunggu...
Muhajir Arrosyid
Muhajir Arrosyid Mohon Tunggu... dosen -

Warga Demak, mengelola tunu.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Resensi: Perempuan, (Bukan) Komoditas Nonmigas

4 November 2011   10:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:04 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DATA BUKU: Judul: Akses Keadilan dan Megrasi Global: Kisah Perempuan Indonesia Pekerja Domestik di Uni Emirat Arab. Penulis: Sulistyowati Irianto Penerbit:Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Cetakan: Pertama Mei 2011. Tebal: 326 halaman. ISBN: 978-979-461-782-3 Presiden SBY tak perlu membagi Hp kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Cukup dengan membaca buku ini, presiden akan dapat mengetahui sebagian besar problematika TKI terutama di negara teluk. Untuk selanjutnya presiden dapat mengambil langkah-langkah agar penganiayaan terhadap TKI tidak terjadi lagi. Buku ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, Guru Besar pada bidang antropologi hukum di Universitas Indonesia dan beberapa peneliti lain tentang perempuan pekerja domestik di Uni Emirat Arab (UEA) dari Indonesia. Pekerja migran domestik adalah pekerja yang melakukan pekerjaan domestik seperti pengasuhan anak, membersihkan rumah, dan memasak. Buku ini memberikan pemahaman terjadinya penganiayaan terhadap pekerja perempuan dari Indonesia yang bekerja di Negara teluk terutama UEA.  Bentuk-bentuk penganiayan yang dialami para pekerja berupa pemukulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, tuduhan membakar rumah, hingga tuduhan asusila. Data disajikan melalui tabel secara berurutan mulai dari  halaman 117 hingga halaman 122. Sulistyowati Irianto menelusur mulai dari skema perekrutan pekerja domestik yang akan dikirim ke luar negeri. Setelah menjelaskan segala sesuatu tentang proses perekrutan, pelatihan, tes kesehatan yang mengambil lokasi penelitian di kawasan Codet, Susilowati dan peneliti lain terbang ke UEA untuk menyaksikan secara langsung segala sesuatu yang dialami oleh pekerja domestik di UEA. Ada empat faktor yang menjadi pangkal terjadinya tragedi penganiyaan terhadap pekerja migran domestik. Faktor  pertama adalah keluarga. Di halaman 129 dan 230 diungkapkan bahwa keputusan untuk bekerja ke luar negeri bukan semata keinginan pribadi melainkan dorongan keluarga seperti orang tua, suami, dan kakak. Para perempuan itu ingin menolong keluarga dari kemiskinan. Seorang informan mengaku pergi bekerja ke luar negeri karena dorongan untuk mengobati kakaknya yang sakit kangker otak, padahal sebenarnya dia masih trauma saat bekerja di Yordan  (halaman 231). Pengakuan tersebut menunjukkan bahwa sejak dari keluarga sendiri saja para perempuan pekerja tersebut tidak memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi. Mereka diekspoitasi oleh keluarga sendiri.  Kekurangmantapan niat tersebut berpengaruh pada sikap  di tempat bekerja. Kedua adalah proses perekrutan yang hanya berorientasi bisnis. Perikrutan kurang selektif seperti tingkat pendidikan calon pekerja yang terlalu rendah dan pelatihan tidak mencukupi. Para broker baik di negara pengirim maupun penerima juga sama-sama mengeksploitasi pekerja dengan menaikkan biaya paspor dan biaya lain untuk instansi pemerintah.  Dalam proses perekrutan  terjadi banyak manipulasi, misalnya pemalsuan umur, dan data kesehatan. Pelatihan tidak dilakukan secara benar. Para calon pekerja dalam pelatihan tersebut tidak diberitahu tentang hak-hak mereka. Pengetahuan tentang budaya negara tujuan kerja juga tidak diberikan secara memadai. Akbatnya para pekerja mengalami gegar budaya. Perempuan Indonesia dianggap banyak melakukan tindak asusila. Hal itu terjadi karena perbedaan budaya antar negara. Di Indonesia berhungan antara laki-laki dan perempuan berlangsung biasa, sedangkan di UEA bertatap muka dengan majikan laki-laki saja dianggap menggoda. Masalah (anggapan) asusila inilah yang paling banyak menyebabkan pekerja perempuan Indonesia masuk penjara. Para calon pekerja juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. 8 dari 57 orang yang tinggal di rumah aman Abu Dhabi tidak mampu membaca dan 90% di antaranya lulusan sekolah dasar. (halaman 194). Tingkat pendidikan yang rendah ini memungkinkan terjadinya kesalahpahaman antara pekerja dan majikan untuk selanjutnya terjadinya tindak kekerasan. Ketiga adalah masalah hukum dan kontrak kerja. Masalah kontrak kerja, pekerja domestik yang seharusnya menandatangani kontrak tetapi mereka tidak menandatangai kontrak (halaman 23).  Kalaupun ada kontrak menggunakan Bahasa Inggris atau Bahasa Arab, bahasa yang tidak mereka mengerti. Kontrak juga diminta ditandatangani sesegera mungkin dan tidak memberi kesempatan pekerja untuk berkonsultasi dengan keluarganya. Masalah hukum yang mengatur pekerja domestik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 39/2004 yaitu tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kelemahan Undang undang ini adalah karena lebih menitik beratkan pada penempatan bukan perlindungan. Dari 109 pasal dan 16 Bab, hanya terdapat 8 (Pasal 77 sampai 84) yang mengatur tentang perlindungan. Sangat kontras karena 86 pasal lainnya membahas tentang penempatan. (halaman 49) Hal ini menunjukkan bahwa UU ini lebih mementingkan tata niaga kepentingan pengusaha pengarah tenaga kerja. Tidak ada UU yang kusus mengatur tentang pekerja domestik karena pekerja domestik secara sosiokultural tidak dianggap pekerjaan. Keempat adalah faktor sosial dan budaya UEA. Setelah ditemukannya lahan minyak di negara UEA maka negara itu melejit menjadi negara maju. Para gadis hanya bertugas belajar dan tidak membantu bekerja di rumah, demikian para istri memilih beraktifitas sosial. Akibatnya kebutuhan akan tenaga domistik meningkat. Keluarga di UEA sangat membutuhkan tenaga domestik tetapi mereka mandangnya hina. Hal ini dikarenakan adanya Emiratisasi, yaitu menjaga nilai-nilai Emirat. Mereka takut kebudayaan leluhurnya hilang dengan hadirnya banyak pendatang. Penduduk asli yang tinggal di wilayah negara tersebut hanya 20 %. Tenaga domestik dianggap dapat menularkan budaya asing. Posisi perempuan yang dibatasi menyebabkan tenaga domestik menjadi sasaran pelampiasan kemarahan. Banyak terjadi pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap perempuan tenaga domestik oleh majikan laki-laki, anak laki-laki, bahkan juga majikan perempuan karena salah satunya tidak adanya kamar kusus bagi mereka. Penyaluran pekerja domestik keluar negeri adalah madu yang manis bagi pebisnis. Banyak sekali komponen yang menikmatinya. Maka tampaknya bisnis ini masih akan dipertahankan. Lagi pula penyaluran tenaga kerja ke luar negeri telah menyumbang 2, 4 miliar dolar AS pertahun dan menjadikannya sumber pendapatan terbesar di Indonesia setelah sektor migas. (halaman 8). Buku ini merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan terobosan politik untuk mengatasi hubungan tidak setara anatara pekerja dan majikan, melakuakn terobosan hukum agar tidak terjadi pengiriman tenaga kerja kurang berpendidikan, dan melakuakn monitoring secara ketat terhadap agensi agar pelatian tepat guna, efektif dan efisien. (Muhajir Arrosyid – Cerpenis tinggal di Demak).

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun