Mohon tunggu...
Muh. Taufik
Muh. Taufik Mohon Tunggu... Wiraswasta - belajar dan terus belajar memperbaiki diri

berusaha selalu nyaman walaupun selalu dalam kekurangan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rakyat! Murid Para Caleg

28 April 2014   04:36 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13986097041676406005

[caption id="attachment_304775" align="aligncenter" width="300" caption="dok. pribadi"][/caption]

Hiruk pikuk Pemilu telah berlalu, perhelatan demokrasi itu berlalu meninggalkan jejak yang bermacam-macam, ada yang kegirangan karena impiannya terpenuhi, ada yang lesu darah karena gagal. Ada yang kabur sampai ke ruang-ruang gelap kehidupan menghindari kejaran utang. Ada yang benar-benar bangkrut sampai harus pindah ngontrak akibat gagal bermimpi.
Semua tahu bahwa dalam Pemilu 9 April 2014 kemarin, bukan hanya janji yang ditabur oleh caleg untuk mencapai keinginan, mereka pun tidak segan-segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak agar rakyat memilih mereka. Masalah yang sama setiap Pemilu di Indonesia. Proses rekrutmen caleg yang sehat di internal partai tidak pernah berjalan maksimal,karena patokan dasar merekrut caleg adalah sekedar melihat ketokohan atau yang lebih parah sekedar mencukupkan kuota caleg di dapil. Padahal dalam UU no.2 tahun 2011 tentang partai politik sudah di isyaratkan tentang tata cara perekrutan calon anggota legislative.

Akibat dari ulah caleg itu masyarakat menjadi pragmatis dalam memilih, mereka tidak akan memilih orang yang tidak menyodorkan uang dengan jumlah yang bervariasi, tergantung sasaran atau untuk menekan saingan. Ada yang memberi 150 ribu dan lawannya menyaingi sampai 200 ribu. Ada yang membagi sarung, kudung, sajadah, memperbaiki rumah, membagi-bagi kompor, dan lain sebagainya. Larangan membeli suara menjadi hanya sekedar himbauan kosong tanpa arti.
Sadar atau tidak, caleg telah menjadi guru yang baik mendidik rakyat sadar rupiah. Tidak diperhatikan lagi kualitas dan inteligensi calon. Mampu atau tidak berbuat di DPRD itu urusan nanti.Masyarakat berpikir apa pun yang dibuat anggota DPR tak akan merubah status dan nasib mereka.Satu bukti kegagalan partai politik membina kader,padahal partai politik seharusnya menjadi universitas bagi rakyat, tetapi nyatanya malah menjelma menjadi tunggangan meraih kekuasaan dan mimpi. Bahkan di Bantaeng sendiri konon ada caleg yang berutang dan menabur uang sampai 500 juta untuk meraih kursi.

Namun mimpi tidak terwujud, kini sang guru meradang dan marah kepada murid-muridnya, karena sang murid tidak berfihak lagi kepadanya. Rakyat yang telah mereka didik untuk menerima uang dalam memilih sudah sangat pintar dan melek bahwa politik itu ternyata salah satu komoditas yang laku dipasaran. Menjualnya juga tidak butuh tempat yang luas dan rumit, cukup di pos ronda atau jongkok di tepi jalan pun jadi. Teknik yang paling sering digunakan adalah membagi jatah suara untuk beberapa orang, misalnya dalam satu dusun jumlah pemilih 300 orang, peluncur/tim sukses caleg berhitung caleg mana dan berapa jumlahnya yang akan diberi suara, tergantung amunisinya, bahkan ada peluncur yang memegang beberapa calon sekaligus, jadi calo suara.
Caleg jadi uring-uringan menuding rakyat sudah tidak jujur, gemar menerima uang atau barang tapi memilih orang lain.

Lupa bahwa mereka jugalah penyebab lahirnya sikap itu.
Dalam pandangan caleg, menjadi anggota DPR berarti identik dengan kemewahan, proyek, fasilitas yang megah, penghasilan yang tinggi, jalan-jalan gratis atas nama bimtek,jual beli mahar dalam pilkada.

Tak heran yang gagal stress berat, sedang yang masih waras penasaran dan berupaya menggugat, karena menganggap dicurangi di TPS, ada yang pasrah tahu diri tidak laku dijual, ada yang pening menghitung utang dan menyiapkan rencana cadangan untuk kabur menghindari penagih yang datang tak kenal waktu. Rentenir pun tahu betul memanfaatkan kesempatan dalam Pemilu meraup laba. Di Bantaeng sendiri ada beberapa rentenir yang setiap lima tahun menangguk untung tak terkira-kira banyaknya, ada yang jadi kolektor sertifikat, ada yang mendadak rumahnya jadi show room kendaraan dan barang-barang gadaian, ada yang sibuk menyusun daftar utang.
Pokoknya bermacam-macam ekspresi yang muncul.

Yang terpilih sumringah membayangkan banyaknya program yang akan dibuat,rencana jalan-jalan menikmati suasana ibukota, rencana-rencana pengelolaan dana aspirasi sebagai salah satu cara mengembalikan modal yang ditabur sewaktu kampanye.Dan lain sebagainya.
Semoga saja yang terpilih bisa bertanggung jawab atas pilihan rakyat kepadanya.
Karena apapun bungkusnya, lembaga DPR kini benar-benar sudah mirip bursa pasar. Nyaris apapun keputusannya, pertimbangan dasarnya adalah untung rugi atau kalau bukan pesanan.
Semoga mereka masih bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun