Dikaruniai 3 anak itu nano-nano rasanya. Banyak sekali yang harus saya pelajari dan pahami. Misalnya karakter dan selera makan ketiganya. Alhasil, lauk untuk makan harus yang bisa diterima oleh ketiganya, atau paling sedikit yang bisa diterima oleh dua di antara mereka.
Dua anak lelakiku suka makan ikan, asalkan ikannya disuwir-suwir. Bikinnya lumayan ribet karena harus direbus dulu ikannya. Rebusnya menggunakan bumbu agar bau amisnya hilang. Habis itu didiamkan dulu sampai suhu ruangan lalu disuwir-suwir. Setelah itu baru deh diproses dengan menumis bumbu yang baru dibikin, lalu masukkan ikan suwirnya. Karena saya suka dan mertua pun lebih bisa makan makanan yang lunak, hari-hari terakhir ini saya sering bikin olahan ikan ini.
Sudah bisa ditebak, anak gadisku tidak mau makan. Dia tidak suka makan ikan kecuali berbentuk bakso ikan atau pempek. Selain itu, dalam bentuk abon misalnya -- no way, dia pasti menolak mentah-mentah.
Waktu pun bergulir. Sekarang sih sudah makanan "orang dewasa" makanan ketiga anak saya tetapi tantangannya pada like dan dislike. Sewaktu mereka masih kecil, bertahun-tahun lalu, menyiapkan sahur lebih ribet daripada sekarang karena makanan kesukaan mereka berbeda dengan makanan orang dewasa di dalam rumah. Selain itu, makanan suami juga berbeda dengan makanan kami karena ada beberapa pantangan dalam pola makannya.
Saat sahur dahulu saya sering mengomel karena membangunkan 3 anak sungguh menjadi ujian tersendiri. Anak pertama dan kedua sudah bangun, eh anak ketiga tertidur. Saat anak ketiga sudah bangun, anak pertama lagi yang tidur. Begitu terus sampai negara api nyaris menyerang dan emosi mamaknya menuju puncak.
Ujian berikutnya, saat ketiganya lagi makan, bisa tiba-tiba ada yang tertidur. Mana mamaknya harus memperhatikan ketersediaan makanan di atas meja makan. Soalnya si mamak harus menambah nasi kalau habis dan setelah semua selesai makan, harus cuci piring pula. Tapi ini harus berkutat dengan urusan membangunkan anak-anak yang bolak-balik jatuh tertidur lalu memastikan mereka sudah selesai makan sahur atau tidak. Kalaupun tidak, karena tak tega membiarkan mereka puasa tanpa makan sahur -- mamak menyuapi mulut mereka. Andai kubisa membelah diri ...
Ada bantuan sih dari ayahnya tetapi seperti biasa, harus selalu di-briefing setiap harinya. Tidak bisa berlaku otomatis gitu. Yang makin menguji iman kalau bapaknya pula yang bolak-balik harus dibangunkan.
Belum berhenti di situ. Saat mau pergi sekolah, membangunkan mereka juga sungguh  menguji iman orang yang berpuasa di pagi hari. Tak jarang saat masih sekolah dasar, salah satu dari mereka ada saja yang harus dipakaikan seragam sekolah sementara matanya masih merem, lanjut dinaikkan ke atas motor dengan mata meremnya itu. Ada kalanya mamaknya juga harus ikut mengantar, menahan bocil supaya tidak terjatuh dari motor maka mamaknya harus berjaga di garis belakang -- mengapit si bocil bersama ayahnya yang mengendarai motor.
Semua ujian itu kini terlewati. Tinggal satu anak yang masih harus ditelateni untuk urusan berangkat sekolahnya: si bungsu. Bungsuku duduk di bangku SMP kelas 2 saat ini, si sulung sudah lulus kuliah tahun 2023 sementara si tengah duduk di kelas 12 SMA.
Tahun lalu sih lancar-lancar saja sekolah si bungsu di bulan Ramadan. Semoga tahun ini demikian juga. Kalau dipikir-pikir ulang sekarang ini, dahulu urusan lauk-pauk dan membangunkan mereka untuk sahur dan untuk berangkat sekolah itu bikin ungkapan semacam "ARRGHH" selalu terlontar. Sekarang ... rasanya kok kocak ya hehehe. Oya, kalian punya pengalaman serupa?