Metode sorogan
Arifin HM melihat bahwa tujuan pesantren terbagi menjadi dua bagian, yaitu: a) tujuan umum, yakni membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi muballig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya. b) Tujuan khusus, yakni mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kyai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.
Pada saat ini, banyak pesantren yang telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang penting dan tidak terpisahkan dengan yang pengetahuan agama dalam pendidikan pesantren, sehingga tebentuklah kurikulum yang integrative.
Sedangkan sorogan adalah metode pengajaran dengan cara menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Metode sorogan ini adalah metode yang paling sulit dari keseluruhan sistem pendidikan di pesantren. Sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan, dan disiplin pribadi dari murid. Sistem sorogan telah terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang mualim.Â
Sistem ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab. Dan menurut peneliti, kesemestaan metode sorogan juga sangat efektif diterapkan dalam sistem pendidikan modern, tentunya juga tidak terbatas pada bahasa Arab atau bahasa-bahasa lain tetapi juga kitab-kitab keilmuan lain, seperti sains dan teknologi. Metode hafalan adalah metode yang paling umum dalam pesantren, terutama untuk hafalan al-Qur'an dan Hadis. Jumlah kualitas hafalan surat atau ayat menjadi penentu tingkat keilmuan santri.
Metode sorogan yaitu santri menhadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kyai membacakan pelajaran yang berbahasa Arab itu kalimat demi kalimat kemudian menerjemahkanya dan menerangkan maksdnya. Santri menyimak dan ngasehi (jawa : mengesahkan), dengan memberi catatan pada kitabnya untuk mensahkan bahwa ilmu telah diberikan oleh Kyai Pada gilirannya santri (murid) mengulangi dan menerjemahkannya kata demi kata sepersis mungkin seperti yang dilakukan oleh gurunya itu. Dengan cara demikian ini para santri mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu kalimat bahasa Arab. (Zamakhsyari 1994: 28).