"Hmmm, anak gadis mama yang jago karate ini menunjukkan keahlian jurus judang barenya gitu?" Tiara mengernyit menatap Ganis yang merasa bersalah. Ganis mengangguk takut.
"Ganis cuma nggak terima Langga terus dibully teman-temannya, " ujar Ganis menunduk menghindari tatapan mamanya.
"Lalu besuk mama dipanggil kepala sekolah," timpal Tiara mengelus rambut harum gadisnya.
"Maafin Ganis, Â Ma. Ganis nggak bisa jagain Langga," isak Ganis, Â bahunya terguncang dalam pelukan Tiara.
"Kamu nggak salah, Sayang. Mama bangga sama kamu, Â di saat teman lain sibuk main dengan teman-temannya, Â kamu masih menyempatkan mengawasi Langga. Bukan salahmu jika Langga lepas dari pengawasanmu, karena adikmu beda. Airlangga adikmu memiliki kecerdasan di atas rata-rata, rasa ingin tahunya besar sekaligus minat yang berbeda dengan teman lainnya. Itulah sebabnya teman-temannya menganggap Langga aneh, Â dan menjadikannya bahan bullian."
"Mereka jahat, Ma," protes Ganis.
"Mereka tidak jahat, mereka hanya tidak bisa memahami sikap Langga." Tiara menghibur Ganis.
"Tapi tidak seharusnya mereka bersikap seperti itu sama Langga," rajuk Ganis setengah protes. Tiara tersenyum, dikecupnya dahi gadisnya yang tengah beranjak remaja.
"Tidak ada manusia yang sempurna, juga tidak ada yang sama pemikirannya. Tidak ada yang salah dengan sikap mereka, hanya kita yang tidak bisa menerima cara berpikir mereka. "
Ganis menghela napas panjang, tak terlalu paham apa yang dikatakan perempuan yang sangat menyayanginya. Â Namun, gadis yang mewarisi kecantikan mamanya itu tahu pasti kelembutan dan kearifan sikap mamanya selalu membuatnya nyaman.
"Sekarang Ganis tidur, Â ya. Besok mama akan ke sekolah." Tiara mengecup dahi gadis kesayangannya sekali lagi. Â Rengganis mengangguk dan mengembangkan lengan memeluk mamanya.