Mohon tunggu...
Mudjilestari
Mudjilestari Mohon Tunggu... Freelancer - Author motivator and mompreneur

Author, motivator, and mompreneur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajah Malaikat di Puncak Gunung Slamet

10 Agustus 2022   19:32 Diperbarui: 10 Agustus 2022   19:42 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Belum juga separuh perjalanan, air mineral yang dibawa dari bawah sudah banyak berkurang. Memang saat pendakian hal yang paling sulit dikontrol adalah pengelolaan bekal air. 

Beruntung di pos 5 rombongan kami  menemukan sumber air. Dio, yang sudah beberapa kali mendaki Gunung, dengan cekatan mengumpulkan botol-botol kosong dari anggota rombongan dan mengisinya di sumber air tersebut. Setelah puas menikmati sejuknya mata air yang menyegarkan,  menghilangkan lelah dan haus, kami pun melanjutkan perjalanan.

Medan yang ditempuh makin terjal dan mendaki. Meski medan gunung Slamet ini sebenarnya cukup landai dan tidak terlalu terjal. Apalagi saat ini sedang musim kemarau, hingga medan tidak terlalu licin atau becek untuk dilalui.

Menuju puncak, medan mulai banyak bebatuan, Dio menyarankan untuk berhati-hati dalam menapaki batu, agar tidak salah pilih jalur. Ngeri juga membayangkan jika terpeleset, karena di kanan-kiri jurang menganga siap menerkam.

"Hati-hati!" seru Dio berkali-kali mengingatkan, ketika melihatku gamang mengambil pijakan.

"Ikuti aku," perintah Restu, laki-laki itu setengah melompati tubuhku yang kecil supaya bisa mengambil posisi di depan.

Aku hanya mengangguk, mengikuti dari belakang. Setelah berpuluh tahun sibuk dalam kesibukan di kota,  ini adalah pendakian pertama, diusia yang tak lagi muda. Banyak hal baru yang belum pernah kutemukan sebelumnya.

Kebersamaan dan persahabatan yang sesungguhnya, fisikku tidak lagi sekuat dulu saat masih menjadi anggota mapala. Beberapa kali aku sering mencuri waktu untuk sekedar mendiamkan kaki sejenak. Belum lagi cuaca dan medan yang harus ditempuh tidak selalu bisa diprediksi. Mendaki  gunung memang tidak semudah bayangan untuk mereka yang tidak terbiasa.

"Kalo capek istirahat aja dulu, Ti," ujar Dio berkali-kali menyampaikan, sepertinya paham jika teman seperjuangannya berpuluh tahun lalu telah banyak berubah, mungkin karena tidak terlatih. Berbeda dengan Dio dan Restu yang hingga usia senja menyapa masih perkasa menakhlukkan puncak-puncak.

"Mendaki itu ndak usah terlalu ngoyo, nikmati perjalanan, kendalikan tenagamu," ujar Restu ketika kami beristirahat di pos 6

"Kita naik gunung itu, kan, untuk menikmati keindahan alam, supaya kita bisa mensyukuri betapa agungnya ciptaan Allah, dan bukan berlomba."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun