Mohon tunggu...
MS
MS Mohon Tunggu... Guru - Pendidik, minimal bagi diri sendiri

Great power comes great responsibility

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru dan Kepahlawanan

20 November 2014   11:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:20 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa….

Itu dulu. Lirik lagu hymne guru dengan redaksional pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi kini sejak adanya pengakuan terhadap profesi guru lirik lagu hymne guru mau tak mau berubah,Patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia. Namun begitu,ternyata perubahan ini tetap tidak mengubah potret guru sebagai pahlawan bangsa. Dan saya yakin bahwa paradigma kepahlawanan yang melekat pada guru hampir saja berada di bawah wilayah kesadaran manusia Indonesia, karena hal ini telah begitu lekat dengan kehidupan.

Betapa kita di Indonesia ini memiliki kisah yang begitu kaya dengan kepahlawanan guru. Goresan kepahlawanan sang pendidik yang berada di daerah terpencil, dengan gaji yang jauh dari layak namun tak mengurangi dedikasi mereka pada pendidikan. Atau bagaimana sosok manusia mulia itu berjuang melawan tradisi setempat yang tak sejalan dengan semangat pendidikan, dikikis sedikit demi sedikit dengan kesabaran dan kebesaran jiwa mereka. Airmata haru dan decak kekaguman kita sebagai warga bangsa ini selalu tercurah bagi mereka sosok-sosok mulia berstempel pahlawan itu. Maka tak pernah kita meradang atau tak terima ketika guru mendapatkan gelar pahlawan tanpa tanda jasa.

Kemudian semenjak disepakatinya UU guru dan Dosen no.14 th 2005 ada perubahan yang cukup signifikan terhadap (profesi) guru. Berkat UU tersebut guru kemudian diakui sebagai sebuah profesi yang berimbas pada kompetensi minimal yang harus dimiliki guru. Dan yang paling menggembirakan bagi kalangan guru adalah adanya sertifikasi guru yang walaupun sebenarnya dimaksudkan untuk meningkatkan profesionalitas namun lebih banyak ditangkap sebagai meningkatkan pendapatan guru. Perubahan ini membawa pergeseran cara pandang masyarakat terhadap guru. Bahkan hal ini terlihat dari diubahnya lirik lagu hymne guru.

Kini kita lebih banyak disuguhkan dengan fenomena guru yang melakukan plagiat massal demi memenuhi syarat sertifikasi. Atau tindak kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya. Juga tak jarang kasus yang berkaitan dengan tindak korupsi terjadi di kalangan guru. Bahkan banyak lelucon beredar dengan maraknya penyakit guru saat ini seperti diantaranya hipertensi (hiruk persoalkan tentang sertifikasi), asma (asal masuk), THT (tukang hitung transpor), kudis (kurang disiplin) , salesma (sangat lemah sekali membaca), asam urat (asal mengajar kurang akurat) dan penyakit-penyakit guru yang lain.

Padahal sejatinya perubahan terhadap pengakuan guru sebagai profesi tidaklah mengubah esensi dasar tugas guru sebagai seorang pendidik. Guru tetaplah orang yang seharusnya senantiasa berdedikasi terhadap pendidikan. Tugas utamanya berkenaan dengan perkembangan manusia yang disebut peserta didik. Maka saya sangat sepakat bahwa guru tak semata dipandang sebagai profesi namun guru adalah panggilan jiwa.

Seperti kita mengartikan istilah pahlawan, mereka adalah orang yang berdedikasi bagi masyarakatnya tanpa memandang pamrih. Bicara pahlawan maka kita sedang berbicara pengorbanan dan kebesaran jiwa. Kata pahlawan tak pernah beriringan dengan keuntungan materi yang hanya akan mereduksi arti kata pahlawan itu sendiri. Namun simbol kepahlawanan selalu beriringan dengan semangat jiwa memberi terhadap sesama yang muncul dari nurani kemanusiaan, yang kemudian membangkitkan keberanian dan pengorbanan.

Seperti itu jugalah kita memandang semangat seorang pendidik. Mereka adalah orang yang hampir seluruh bagian dari waktu hidupnya dipersembahkan untuk lingkungan dan anak didiknya. Mereka adalah orang yang selalu menyalakan harapan bangsa ini akan penerus-penerus yang berkualitas bagi perbaikan bersama. Maka untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan ini guru harus mampu keluar dari pragmatisme kerumitan gaji dan tunjangan.

Gaji dan tunjangan itu penting. Kita semua paham bahwa itu merupakan materi penunjang kelangsungan hidup. Namun seperti kita diajari oleh guru kita dahulu bahwa menunaikan kewajiban itu lebih utama dibandingkan menuntut hak. Begitu juga guru, kewajibannya untuk memberikan yang terbaik bagi dunia pendidikan adalah hal yang utama dan gaji menjadi hal yang sekunder. Ini sejalan dengan semangat kepahlawanan yang pernah ditorehkan oleh kaum guru di negeri ini bahwa mendidik itu menanam benih kebaikan.

Toh dengan berubahnya paradigma masyarakat terhadap guru akhir-akhir ini, mereka masih tetap menyematkan kata pahlawan, yakni pahlawan pembangun insan cendekia. Hal ini wajar karena apalagi pekerjaan yang lebih mulia dibandingkan menumbuhkan jiwa-jiwa baru penuh semangat perbaikan. Apa lagi pengorbanan yang lebih mulia dibandingkan perjuangan sedikit-demi sedikit mengolah jiwa, rasa dan karsa peserta didiknya hingga menjadi manusia paripurna?

Waktu memang terus berubah dan jaman juga mengalami perkembangannya. Undang-undang di negeri ini juga pastinya terus diperbaharui untuk kemajuan bersama. Namun semua perubahan ini tidaklah mengubah esensi dasar tugas seorang guru. Guru dan kepahlawanan adalah bagai dua sisi mata uang yang terus bersisian. Semua guru seharusnya menyadari hal ini sepenuhnya. Jika ini benar-benar melekat pada benak guru Indonesia maka separuh lebih permasalahan pendidikan di negeri kita sejatinya telah terselesaikan. Karena guru adalah tonggak maju mundurnya kualitas pendidikan suatu bangsa.

"Untukmu para pejuang generasi"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun