Mohon tunggu...
Mudhofir Abdullah
Mudhofir Abdullah Mohon Tunggu... profesional -

Mudhofir Abdullah adalah Dosen Filsafat Hukum Islam IAIN Surakarta. Tinggal Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pesantren dan Karakter Bangsa

28 Maret 2013   12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:05 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Mudhofir Abdullah

Di tengah isu-isu korupsi, kekerasan berbasis agama, dan krisis moral bangsa yang kian melukai akal sehat, pesantren dituntut untuk meningkatkan perannya dalam membangun karakter bangsa. Keberadaan pesantren yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka dianggap telah ikut memainkan peran dalam membentuk wajah Nusantara baik dalam tradisi, budaya, pandangan dunia, maupun sistem nilai bangsa. Karena itu, pesantren masih tetap relevan dan menjanjikan untuk menjadi garda depan dalam mengawal kelangsungan bangsa yang terancam oleh krisis moral, krisis identitas, dan krisis kepribadian.

Harapan itu terungkap dalam Seminar Nasional dengan tema “Mempertegas Peran Pesantren dalam Membangun Karakter Bangsa” yang menghadirkan Dawam Rahardjo, Masykuri Abdillah, dan Habib Khirzin pada Minggu 10 Maret 2013 di IAIN Surakarta.

Tak dipungkiri bahwa kehadiran pesantren sedikit redup akibat aksi-aksi terorisme oleh pelaku yang berasal dari beberapa pesantren. Stigma pesantren sebagai suplier teroris masih melekat karena tiadanya publikasi tentang pesantren sejak sepuluh tahun terakhir. Berita-berita mengenai pesantren, karena itu, kurang proporsional dan mengalami disinformasi. Di sinilah seminar tersebut menyegarkan kembali tentang peran pesantren dan tantangan-tantangannya dalam menempatkan diri di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam membentuk karakter bangsa.

Menurut Dawam Rahardjo, dalam sejarahnya pesantren di Indonesia telah menyumbangkan pendidikan moral yang bisa menjadi modal sosial bagi tegaknya bangsa. Hanya saja, menurut Dawam, agar pesantren dapat memainkan peran maksimal dan strategis, ia harus menghilangkan terlebih dahulu hambatan-hambatan internal seperti: sifat paternalistik, tiadanya kebebasan (berfikir), ketergantungan (mudah dikooptasi), tidak ramah lingkungan, dan sektarian.

Meskipun analisis Dawam masih mengacu pada pesantren tempo dulu, namun diakui bahwa lima faktor penghambat itu masih tersisa di sejumlah pesantren terpencil. Tentu saja, secara umum semua pesantren telah berubah. Pesantren-pesantren telah mengakomodasi perubahan-perubahan sosio-kultur sebagai cara mereka bertahan hidup. Model-model pengajaran dan sasaran pendidikan telah sejauh mungkin beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan terkini kehidupan.

Keluar dari Cangkang

Berbeda dengan Dawam yang sedikit pesimis terhadap peran pesantren, Masykuri Abdillah yakin bahwa pesantren bisa menyumbangkan konsep-konsep utama tentang keteladanan. Ia menegaskan bahwa konsep akhlak karimah bisa menjadi konsep ideal yang perlu dijabaroperasionalkan ke dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep al akhlaq al karimah bisa menjadi prototype bagi standar moral yang secara populer diterjemahkan sebagai karakter bangsa.

Penting dicatat bahwa dua intelektual Muslim tersebut sulit ketika diminta untuk memberi bukti. Kritik publik pada ideal-ideal dunia pesantren sebagaimana bersumber dari ajaran Islam sering terpatahkan pada tingkat implementasi. Secara konseptual, ideal-ideal itu bagus tapi belum tentu bagus pada tingkat aktual. Ada diskrepansi antara dimensi konseptual dan dimensi aktual dari ajaran Islam. Itulah sebabnya, korupsi, kekerasan agama, kemalasan, dan sikap pemaksaan diri masih tetap hadir berhimpit dengan ideal-ideal karakter sebagaimana diidealkan pesantren dan atau Islam.

Jika ideal-ideal itu benar-benar bagus lalu apa sumbangannya bagi kehidupan bangsa yang dipenuhi oleh penyakit-penyakit sosial akut seperti korupsi, terorisme, dan ketidakjujuran? Di sinilah masyarakat pesantren memperoleh pukulan telak. Dunia pesantren yang mendidik umat dengan keketatan moral ternyata tak mampu berkelanjutan setelah mereka memasuki kehidupan nyata.

Itulah sebabnya, Clifford Geertz dalam Islam Observed (1968) menjuluki pesantren sebagai “kuburan dan balasan”. Artinyapesantren dianggap oleh Geertz hanya berfokus pada masalah-masalah kematian dan akhirat serta kurang berminat pada isu-isu perbaikan tatanan sosio-politik. Dalam pandangan Geertz, pesantern tak bisa diandalkan dan kurang relevan dengan konteks pembangunan karakter bangsa sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.

Tentu saja, Geertz terlalu pesimis dan oleh Anthoni John dan juga Marshal G. Hugdson pandangan Geertz dianggap tidak obyektif. Geertz hanya mengamati pesantren dari perspektif kaum abangan dan tidak melihat pesantren dari perspektif komprehensif, misalnya, pesantern-pesantren yang melahirkan tokoh-tokoh nasional dengan peran-peran yang strategis.

Namun demikian, kritik Geertz dan kaum modernis—seperti Mas Dawam Rahardjo—perlu untuk didengar. Kritik-kritik itu telah direspon dengan aksi-aksi perubahan nyata sebagaimana digerakkan Gus Dur sejak era 1970-an. Pesantren telah keluar dari cangkangnya dengan tatapan masa depan yang berubah dan optimis. Peran-peran sosio-kultur telah dimasuki sebagai medan perjuangan dan kelanjutan dari visi teleologis.

Di hadapan perubahan sosio-kultur yang kian deras dan globalisasi massif, pesantren tetap tumbuh dan berkembang. Bahkan telah mendapat kepercayaan masyarakat dalam mendidik umat. Krisis-krisis moral yang kian mendera anak-anak bangsa yang ditunjukkan oleh tawuran, kenakalan remaja, narkoba, dan lain-lain keberadaan pesantren sering menjadi alternatif pendidikan. Namun sejalan dengan kepercayaan masyarakat, pesantren pun telah melakukan perubahan-perubahan yang perlu sehingga eksistensinya benar-benar dapat berkelanjutan.

Agen Karakter Bangsa

Bersama-sama dengan lembaga pendidikan umum, pesantren punya tugas yang sama dalam membentuk karakter bangsa. Menurut Dawam dalam seminar itu, karakter bangsa bisa dikategorikan ke dalam dua: karakter bangsa sebagaimana dicerminkan oleh warganya dan karakter sebagaimana yang diidealkan oleh para pemimpinnya. Pesantren sebagai komunitas warga perlu menyumbangkan konsep-konsep utama tentang karakter berikut aksi-aksi nyata dalam kehidupan. Demikian pula, para pemimpin perlu menjadi teladan dengan kode-kode moral umum sebagaimana dicerminkan oleh peraturan-peraturan hukum serta norma-norma masyarakat.

Dalam konteks simbol moral, dunia pesantren menempati posisi sentral. Dunia pesantren adalah artikulasi dari ideal-ideal moral sebagaimana dilekatkan pada para kyai dan atau tokoh-tokoh agama sebagai representasi ajaran moral Tuhan. Dengan posisi ini, dunia pesantren harus tampil dengan teladan indah; dengan kontribusi nilai-nilai keteladanan; dan dalam memproduksi anak-anak bangsa yang berkarakter.

Merujuk ke ajaran Islam awal, jauh sebelum kewajiban salat, puasa, haji, dan zakat diperintahkan oleh Allah kesempurnaan akhlak adalah yang pertama diserukan. Kesempurnaan akhlak adalah tujuan utama agama ini didirikan dan menjadi dasar utama Muhammad SAW diutus. Ini menegaskan bahwa masyarakat tanpa akhlak, tanpa karakter, dan tanpa standar moral maka masyarakat itu menjadi tidak bermakna. Nah dalam semangat ajaran dasar Islam ini, maka pesantren tentunya harus menjadi agen yang pertama dalam membangun karakter bangsa dalam arti yang sesungguhnya.

Surakarta, 28 Maret 2013

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun