Ketika membaca buku “Candra Mata Untuk Bekas Siswa/i Ku”, banyak hal kembali muncul dari bawah sadar, terbayang pengalaman tidak terlupakan selama menempuh pendidikan di Pendidikan Guru (PGA), Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI) di Jati, Padang, tahun 1964 hingga 1967. Kenangan pada Guru ku itu tidak pernah hilang dalam pengalaman hidup para alumni PGA PGAI padang, sebelumnya dan hingga tahun 1980.
Kutacane ke Bukittinggi dan Padang
Kenangan empat tahun sekolah di PGAI Padang kembali muncul ketika datang kembali ke sekolah itu tahun 2016 dalam ksempatan silaturrahmi dengan alumni PGAI itu. Tarbayang kembali bagaimana guruku Syahruddin St Indra, selama perjalanan menimba ilmu di sekolah ini. Beliau disebut sebagai teacher, educator dan al murrabby oleh Dr. H Z.Yusuf SH, alumni SMP Islam tahun 195-1956, yang berada dibawah naungan PGAI.
Beliau bertugas sebagai Guru dan Penilik Sekolah Pendidikan Dasar di bawah Kementrian P & K di Kutacane, Aceh Tengah, sejak tahun 1927. Pindah ke Bukittinggi, karena kaadaan istri yang kurang sehat, sementara fasilitas untuk berobat jauh dari tempat tugas. Juga karena anak-anak beliau yang masih kecil dan tidak mempunyai pembantu rumah tangga. Kondisi lainya adalah era perjuangan kemerdekaan, menghadapi kolonial Belanda yang tidak aman.
Memulai kiprah pengabdian di Bukittinggi dan melamar pekerjaan sebagai guru, saat itu muncul tantangan baru, ketika permintaan pindah ke Sumatera Barat ditolak, karena di Aceh memerlukan tenaga beliau. Setelah bertemu dengan Saadudin Jambek yang menjadi kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat, akhir nya beliau memutuskan mengundurkan diri dari pegawai P & K.
Pertemuan dengan kawan lama Habib S Maharajo di Bukittinggi, menawarkan kiranya mau menjadi guru di Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bukittinggi. Beliau kenal baik dengan Busatami Abdul Gani yang menjadi Direktur sebuah SMP yang sedang mencari guru. Walau pun mengajar di sekolah Agama beliau belum berpengalaman.
Saadudin Jambek mayakinkan, bahwa sekolah ini mencari guru untuk pelajaran umum. Mulailah sebuah pengalaman baru mengajar Bahasa Indonesia dan Ilmu Bumi di SMI ini. SMI berada di Jirek, Bulittinggi, dengan murid-murid yang berasal dari Normal School dan Islamic College. Kalau di Kutacane murid murid adalah anak anak, maka murid-murid di SMI ini sudah dewasa, semakin menantang di tugas baru ini.
Perpindahan dari Jawatan Pendidikan dan Kebudayaan kepada Jawatan Pendidikan Agama di Bukittinggi ini memperkuat filosofi yang dipegang kuat “Aku akan bekerja dengan sejujur-jujurnya untuk dan seikhlas-ikhlasnya untuk pendidikan agama”.
Karena itu selama di SMI ini tidak hanya menjadi guru tetapi juga memberikan masukan dalam pengelolaan sekolah. Kegiatan belajar berpidato dan muzakarah yang dirintis merupakan palajaran tambahan yang disenangi murid-murid. Kebiasaan disipln selama ini di Kuta Cane, secara bertahap mulai diterapkan bagi murid-murid. Beliau mengusulkan peraturan sekolah dengan tata tertibnya, termasuk untuk para guru.
Perjalanan SMI terganggu dengan agresi Belanda, dan sempat terhenti. Namun pada bulan Maret 1950 SMI kembali berjalan dengan baik. Malah SMI dalam perkembangan nya menjadi Sekolah Guru Hakim Agama (SGHA). Lebih luar biasa lagi beliau diberikan kesempatan untuk merintis Sekolah Menengah Islam (SMPI).
SMPI ini menjadi tempat latihan murid murid SGHA, Sebagian murid-murid SMI yang tidak memilih SGHA pindah ke PGA Padang. Dalam perkembangannya pada tahun 1955, SGHA ini diganti menjadi Pendidikan Guru Agama Atas (PGAA) atas kebijakan pemerintah.