Mohon tunggu...
Muchlis
Muchlis Mohon Tunggu... -

Sangat tertarik dengan sejarah, sastra, dan budaya. Kunjungi: www.berandaesai.blogspot.com dan @lekmuchlis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan featured

Pergerakan Nasional Sebagai Fenomena Internasional

2 Oktober 2015   10:07 Diperbarui: 3 Juli 2019   00:53 3696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah kolonial berkomitmen tidak akan mentolelir setiap aktivitas politik yang dapat menggangu rust an orde. Kedua, depresi ekonomi tahun 1930 yang telah membuat bangkrut banyak perusahaan swasta dan pemerintah telah menggiring rakyat Hindia Belanda ke dalam krisis ekonomi yang mengerikan; pengangguran dimana-mana dan harga kebutuhan hidup melambung tinggi.

Dua keadaan tersebut tentu saja membuat kalangan pergerakan nasional berpikir ulang, kalau bukan menyusun strategi perjuangan baru yang dianggap sesuai dengan konteks zaman. Satu hal yang pasti adalah bahwa pergerakan nasional tak lantas mati. PNI yang dibekukan pemerintah kolonial dan pemipin utamanya Sukarno ditangkap, telah bermetamorfosa menjadi PNI Baru dan Partindo, meskipun hal ini menunjukan fakta adanya perpecahan. 

Seperti yang akan kita lihat, wacana pergerakan pada dasawarsa lesu itu, akan sangat riuh oleh wacana kemunculan fasisme di eropa. Bagi sebagian orang mungkin menganggap bahwa wacana fasisme di Hindia Belanda pada waktu itu tak mengandung arti. Akan tetapi, disadari atau tidak, wacana itu telah memantapkan kalangan pergerakan nasional mengenai bagaimana seharusnya negara Indonesia kelak dibangun; apakah berdasarkan demokrasi atau dasar yang lain, seperti fasis misalnya. Lebih jauh lagi, wacana fasisme membuat kalangan pergerakan melakukan rethinking of nasionalism atau mencari makna kembali nasionalisme Indonesia.

Dalam menanggapi wacana fasisme, kaum pergerakan nasional terpecah menjadi dua faksi; antara mereka yang melihat fasisme sebagai bahaya (yang diwakili oleh PNI Baru, Partindo, dan Gerindo) dan kelompok yang antusias menyambut fasisme (Parindra). Tokoh PNI Baru, Mohamad Hatta, menulis sebuah artikel di harian Daulat Rakjat yang berisi tentang sebuah analisis kemunculan fasisme. 

Menurut Hatta, kemunculan fasisme di Eropa adalah sebagai reaksi atas demokrasi yang baru saja ditegakan setelah orde lama di bawah kemonarkian hancur. Namun demikian, demokrasi yang semula dianggap sistem yang baik untuk menjalankan fungsi pemerintahan ternyata dianggap gagal. “Pada masa itu demokrasi menjadi perkakas mereka. 

Akan tetapi, tatkala demokrasi itu sudah besar dan semakin lama semakin berbahaya bagi kapitalisme sendiri, maka mereka menolaknya”. “Pada saat kaum borjuis memandang demokrasi terlalu berat”, demikian kata Hatta, maka di negeri itulah fasisme muncul. Di atas telah dijelaskan kondisi masyarakat Italia dan Jerman yang sudah frustasi akibat krisis ekonomi dan politik pasca perang yang tak bisa ditangani oleh pemerintahan yang lemah. 

Di Italia parlemen dicemooh dengan sebutan ‘toko omong kosong’, sedangkan di Jerman anak-anak sekolah diajarkan untuk membenci parlemen. Tulisan Hatta yang lain menjelaskan keadaan ini, sebagai “kelemahan demokrasi... “karena ia tidak mampu memerangi kesengsaraan rakyat, tidak mampu menimbulkan kemakmuran yang dijanjikan”. 

Selain menganalisis kemunculan fasisme dari sudut pandang kegagalan demokrasi, Hatta juga melihat kesuksesan fasisme di Jerman tidak lepas dari kondisi zaman yang tidak nomal, penuh ketidakpastian, dan kemerosotan ekonomi. Oleh karena itu, menurut Hatta, kediktatoran fasis sebenarnya adalah irasional dan hanya berdasar atas “sembojan dan demagogi” di tengah keterpurukan rakyat.

Analisis Hatta di atas sebenarnya ditujukan untuk memberi pemahaman bagi kaum pergerakan mengenai fasisme secara umum. Istilah fasisme meski sering muncul di berbagai surat kabar, pemaknaan terhadapnya masih terkesan simpang siur. 

Wilson mencatat beberapa pemahaman kaum pergerakan yang masih abu-abu mengenai fasisme, diantaranya dalam koran Adil terbitan Solo tertanggal 26 juli 1933, yang melihat fasisme di Jerman sebagai hal yang positif dan “beloem tentoe tidak baik” (Wilson, 2008;66-67). Keterangan selanjutnya dijelaskan bahwa fasisme di Jerman dan Italia sangat berbeda dengan fasisme di Hindia Belanda, karena di tanah jajahan ini fasisme adalah fasis Belanda yang menghendaki penjajahan belanda sampai selama-lamanya. 

Dari sini dapat dilihat bahwa fasis yang dimaksud dalam koran Adil adalah prilaku imperialistik yang didasari oleh nasionalisme ala barat –meminjam istilahnya Sukarno. Pandangan melihat pemerintah kolonial sebagai fasis tersebut sebelumnya sudah pernah dilontarkan oleh Tan Malaka pada tahun 1925, ketika ia mengkritik aksi provokasi Sarekat Hidjau, sebuah organisasi anti-komunis yang bentukan pemerintah yang sering melakukan intimidasi terhadap kelompok pergerakan. Tan Malaka menyamakan aksi Sarekat Hijau dengan pasukan teror bentukan Musolini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun