Mohon tunggu...
Muchlis Fatahilah
Muchlis Fatahilah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY

Belajar. Agar tidak jadi budak di Negeri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Belajar Apa dari Kasus MKA (OCD)?

6 Januari 2022   22:36 Diperbarui: 6 Januari 2022   23:08 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Viral. Sumber ilustrasi: PIXABAY/ktphotography

Kabar terkait pemerkosaan tiga wanita oleh demisioner BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, memang menjadi berita yang cukup menarik untuk diikuti akhir-akhir ini. Disaat UMY membranding kampusnya dengan tagline “Muda Mendunia” dan berusaha keras untuk diaktualisasikan dalam bentuk prestasi yang tak ada henti, berita ini jelas membuat citra kampus agak menurun dimata masyarakat. 

Imbasnya, tentu bukan hanya sebatas nama kampus. Tapi, organisasi tempat pelaku pernah bernaung dan juga bagi aktivis atau organisator lain. Bahkan, setelah berita ini mencuat, penulis sempat mendapat candan dari seorang kawan. Dia bilang “Jangan-jangan, itu yang kamu lakukan kalau ngajak cewek rapat”. Ah, sial! 

Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang agaknya menarik untuk dibahas dan juga difahami. Mengingat, kejadian semacam ini sangat mungkin terjadi pada kita atau orang-orang terdekat kita. Namun sebelum itu, penulis harus discalaimer terlebih dahulu, bahwa tulisan ini merupakan opini pribadi. Bisa benar, bisa juga salah. Karena kebenaran hanyalah milik Allah, hehe. 

Pada postingan @dear_umycatcallers dijelaskan bahwa kronologi kasus tak terpuji itu adalah ketika korban ada urusan kampus. Kemudian, mendapat chat dari pelaku untuk datang ke sebuah tempat nongkrong bersama beberapa teman pelaku. Setelah korban sampai ditempat , ia kemudian diajak pergi oleh pelaku dengan dalih “membahas event bersama teman pelaku”. 

Korban dan pelaku pergi dengan menggunakan motor lain. (bukan motor korban). Dalam postingan tersebut, korban juga memaparkan bahwa ia mau diajak pergi oleh pelaku, karena berfikir hanya pergi sebentar. Setelah berhasil membawa korban pergi, maka apa yang menjadi ‘program kerja’ pelaku, berjalan dengan lancar. Tinggal LPJ-an nih.

Berbeda dari korban pertama, korban kedua justru diperkosa dalam keadaan tidak sadar. Korban saat itu pergi ke club bersama pelaku dan beberapa teman lain. Korban hanya mengingat bahwa ia dibawa ke salah satu hotel dijalan Solo dan tersadar dalam keadaan tidak menggunakan pakaian.

Kemudian korban ketiga mendapatkan “perlakuan yang tidak selayaknya” ketika mengikuti test pemilihan anggota BEM Fakultas. Korban disuruh untuk datang ke kontrakan pelaku untuk menjalani rangkaian test tersebut. Meskipun pada akhirnya, itu hanyalah rencana pelaku untuk bisa ‘menikmati’ tubuh korban. Saat itu pula, pelaku mengatakan kepada korban ”Maaf ya, aku hypersex dan aku suka dengan cara bdsm”. Mbuh opo artine. 

Dari ketiga kronologi yang penulis paparkan diatas, setidaknya ada beberapa hal yang perlu menjadi catatan. 

Kamu yang kuat ya kalau sama aku. Soalnya aku hypersex 

Mungkin yang mengikuti kasus ini, sangat akrab dengan pernyataan menggelikan tersebut. Pernyataan ini merupakan ucapan pelaku kepada korban saat melakukan aksinya. Dari sini kita bisa lihat bahwa korban menyadari betul apa yang terjadi pada dirinya. Ia mengaku bahwa ia hypersex. Hypersex dapat diartikan sebagai gangguan yang membuat seseorang mengalami kecanduan seks. Orang yang mengalami ini biasanya terobsesi atas hal-hal yang berbau seksual. Terlepas dari benar atau tidak pelaku mengalami kelainan ini, namun akan lebih baik jika korban menyadari, haruslah mengambil langkah penyembuhan seperti psikoterapi. Bukan malah menyalurkan hasrat tersebut pada seseorang, dan dipaksa pula, Hadeeeh. 

Pernyataan ini juga terkesan sebuah pembenaran atas apa yang dilakukan. Seakan, orang yang hypersex hasratnya harus disalurkan dan dimaklumi oleh orang lain. Padahal, hidup adalah pilihan dan kontrol terhadap hidup, ada ditangan masing-masing.

Ke club nyari apa? 

Momen di club ini menjadi momen yang menyadarkan penulis untuk melihat dari presepektif lain. Dengan tidak membenarkan apa yang dilakukan pelaku, kegiatan yang dilakukan oleh korban juga tak bisa dibenarkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di club (nggak semua club), sangat identik dengan alkohol dan seks bebas. Kita tidak akan menemukan orang baik dan orang shalih di club. Justru, kalau bisa nemu, maka keshalihannya perlu untuk dipertanyakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun