Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbohong untuk Memperoleh Kebaikan

15 Oktober 2018   20:27 Diperbarui: 15 Oktober 2018   20:29 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Secara fitrah (naluri), setiap manusia pasti benci dengan kebohongan. Setiap orang akan tersinggung dan bahkan emosi jika tahu dirinya dibohongi. Kasus Ratna Sarumpaet contoh nyata, walaupun sudah jujur mengakui dan minta maaf karena telah melakukan kebohongan, publik masih tetap tidak bisa mentolelir. Setidaknya ada 2 (dua) sanksi yang diterima para pembohong. 

Pertama, sanksi hukum (pidana) yang berujung dalam tahanan atau penjara. Kedua, sanksi social yang berimplikasi pada hilangnya kepercayaan (trust), krebilitas dan integritas dimata orang lain. Yang rugi dan menderita tidak hanya diri si pembohong tapi juga orang orang terdekat (keluarga) juga menanggung akibatnya.

Pada zaman Rasul, salah seorang bernama Abdullah bin Ubay bin Sahlul diketahui sebagai pembohong tidak hanya kepada sesama muslim tapi juga berbohong kepada orang kafir. Jika bertemu sesama muslim dia menjelek jelakan orang kafir, pada saat bertemu orang kafir dia menjelek jelekan kaum muslim. Bahkan keluarga Nabi Muhammad juga di fitnah di hadapan orang kafir. Atas perbuatanya, Abdullah bin Ubay bin Sahlul akhirnya di kucilkan (di jauhi) pihak muslim dan kafir. Sampai meninggal Abdullah bin Ubay bin Sahlul mendapat predikat sebagai pembohong dan pengkhianat.

 Begitu dahsyatnya resiko atau hukuman yang di alami para pembohong. Walaupun begitu kerasnya hukuman bagi pembohong, masih ada kebohongan yang bisa ditolelir bahkan di anjurkan. Setidaknya ada 4 (empat) macam kebohongan yang  justru sarana untuk memperoleh kebaikan, antara lai

 Pertama, bohongnya orang tua kepada anak dengan tujuan meningkatkan motivasi khususnya usia balita. Pada saat anak kita memiliki karya atau  melakukan sesuatu  yang positif walaupun itu jelek maka orang tua tidak boleh jujur mengatakan jelek. Karena jika orang tua jujur dengan yang sebenarnya, secara psikologis mental anak akan down atau jatuh.

 Kedua, bohongnya suami terhadap kinerja isteri atau bohongnya istri  terhadap apa yang dilakulan suami dengan tujuan saling menjaga perasaan suami-isteri. Suami boleh berbohong terhadap kualitas masakan isteri yang tidak sesuai harapan. Isteri juga boleh berbohong terhadap pemberian hadiah suami yang tidak sesuai keinginan.

 Ketiga,  bohong kepada seseorang  yang jelas jelas bermaksud jahat kepada orang lain.  Ketika ada orang yang bertanya keberadaan seseorang yang berniat ingin mencelakakan  maka bohong itu diperbolehkan, bahkan diharuskan.  Misalnya bohong kepada pencuri atau perampok yang akan melakukan perampokan. Bohong kepada pembunuh yang akan membunuh orang lain. Bohong kepada penipu yang akan menipu orang lain. Bohong kepada pembohong yang akan membohongi orang lain.

 Keempat, bohongnya seseorang untuk menutupi amal baiknya agar tidak diketahui orang lain dengan tujuan ingin memperoleh predikat orang yang ihlas (muhlisin) di mata Allah SWT. Imam Nawawi dalam "Syarah Hadist Arba'in An Nawawiyah" mengatakan Ihlas adalah orang yang menutup rapat rapat amal baiknya untuk tidak diketahui oeang lain. Hal ini pernah di lakukan para sahabat Rasul SAW Seperti Abdurrahman bin Abu Laila yang berbohong terhadap ibadah sholat malam kepada setiap orang. Abu Hamzah Ats Tsimali selalu tidak pernah mengakui bahwa dirinya bersedekah roti kepada masyarakat Madinah. Amru bin Qais, selalu berkata tidak pernah puasa, walaupun sebenarnya Ia berpuasa selama 20 tahun.

 

Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd, Pemerhati Pendidikan, Sosial Politik dan Keagamaan IAIN Kudus.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun