Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Memberi Sanksi Pidana kepada Golput dalam Pemilu?

21 Juni 2018   07:37 Diperbarui: 21 Juni 2018   22:09 2956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Golongan putih atau biasa disebut golput diartikan sikap atau pilihan yang sengaja tidak memberikan hak suara dalam Pemilu atau Pilkada. Namun, golput bukanlah sesuatu yang diperbolehkan saat ini.

Dalam perspektif sejarah, Golput dimotori oleh Arif Budiman (Dosen UKSW saat itu) yang dimaksudkan sebagai sikap politik terhadap kebijakan orde baru (Rezim Soeharto) yang dinilai sangat otoriter dan pemilu hanya sebagai kamuflase demokrasi.

Artinya memberikan suara atau tidak dalam pemilu hasilnya tidak akan ada pengaruhnya apa apa untuk perbaikan kehidupan bangsa Indonesia.

Logika publik beranggapan bahwa golput jika dilakukan untuk dirinya sendiri tidak bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran hukum atau pidana pemilu karena golput merupakan hak politik warga negara.

Jika berusaha memengaruhi atau mengajak orang lain agar tidak memberikan hak pilihnya bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum atau pidana pemilu.

Pertanyaannya, mungkinkah seseorang atau kelompok yang golput bisa diberi sanksi pidana? Golput yang seperti apa yang masuk kategori pidana pemilu? Dan apakah ada golput yang tidak bisa di jatuhi hukuman pidana pemilu?

Pasal Tentang Golput

Sebenarnya istilah atau nomenklatur Golput tidak dikenal dalam regulasi yang berkaitan dengan pemilu.

Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU juga tidak mengenal istilah golput.

Yang dikenal adalah istilah mempengaruhi atau mengajak memilih atau tidak memilih peserta pemilu tertentu.

Pasal yang dapat di perumpamakan (dikiyaskan) dengan Golput tertera dalam undang undang nonor 7 tahun 2017 tentang pemilu khususnya pasal 515.

"Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah".

Berdasarkan pasal tersebut, Golput yang bisa dipidana, sekurang kurangnya harus memenuhi 3 (tiga) unsur atau syarat. Yaitu, pertama, dilakukan pada saat hari pemungutan suara (hari pencoblosan).

Kedua, dengan menjanjikan atau memberi uang atau materi lainya.

Dan ketiga, merusak surat suara sehingga menyebabkan surat suaranya tidak sah atau tidak bisa di hitung sebagai suara hasil pemilu.

Dalam konteks perundang undangan, pasal 515 termasuk pasal akumulatif yaitu tiga unsur yang ditentukan harus ada secara bersamaan dalam suatu kasus atau peristiwa.

Artinya pidana pemilu bisa di sangkakan jika ketiga unsur tersebut benar benar terpenuhi.

Golput yang seperti diatur dalam pasal 515 undang undang nomor 7 tahun 2017 sangat sulit di temukan.

Fenomena seperti dalam pasal 515 esensinya bukan mempengaruhi atau mengajak untuk tidak memilih, justru memengaruhi atau mengajak untuk memilih peserta pemilu tertentu.

Melihat semangatnya, pasal ini sejatinya bukan direncanakan dan di tujukan kepada kelompok golput tetapi untuk seseorang atau kelompok yang melakukan politik uang ( money politics) atau dalam istilah masyarakat umum disebut " serangan fajar".

Tipologi Golput

Tidak semua golput itu didasarkan pertimbangan rasional. Golput juga bisa terjadi disebabkan teknis administratif.

Dalam realitas pemilu, setidaknya ada 3 ( tiga) tipologi golput. Pertama, Golput teknis administratif; Seorang atau kelompok tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) disebabkan namanya tidak atau belum tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Kedua, golput tehnis akademis; Seorang atau kelompok tidak datang ke TPS karena yang bersangkutan tidak mengetahui makna atau menfaat pemilu bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemilu dipahami hanya kepentingan elit politik saja bukan kepentingan rakyat kecil.

Ketiga, golput rasional politik; Seseorang atau kelompok tidak bersedia datang ke TPS karena peserta atau kontestan pemilu dianggap tidak ada yang bisa memperjuangkan aspirasi rakyat. Para calon yang diusung atau yang ada tidak memiliki kualifiaksi, kredibilitas dan akseotabilitas yang sesuai harapan rakyat.

Kesimpulannya, memberi sanksi pidana kepada seseorang atau kelompok yang memiliki sikap Golput dari aspek regulasi ternyata sangat sulit bahkan dapat dikatakan tidak bisa. Karena unsur atau kreterianya sangat sulit ditemukan.

Apalagi jika mengajak untuk tidak memilih (golput) kepada peserta pemilu tertentu selama dilakukan dengan cara cara yang prosedural, rasional dan berdasarkan argumen dan data yang valid maka selama itu pula tidak akan bisa disangkakan atau di kenai pasal pidana pemilu. 

Golput hanya bisa dilakukan dengan pendekatan persuasif dan kultural yaitu dengan cara memberi pendidikan politik atau penyadaran agar seluruh rakyat Indonesia dengan sadar memberikan hak pilihnya dalam pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun