Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Catatan 20 Tahun Reformasi

22 Mei 2018   20:45 Diperbarui: 22 Mei 2018   20:52 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(nasional.kompas.com)

Reformasi Indonesia yang dipelopori mahasiswa pada tanggal 20 mei 1998 sudah memasuki usia ke 20 tahun. Menurut pakar pendidikan Langefeld menyebut, ibarat manusia pada usia 20 tahun disebut masa atau fase dewasa ( adult) yang ditandai dengan tiga ciri ; mandiri, tanggung jawab dan rasional.

Artinya reformasi bangsa Indonesia harus mampu melahirkan tatanan sistem pemerintahan dan politik yang manjadikan bangsa Indonesia mandiri dalam mengelola pemerintahan, bertanggung jawab terhadap apa yang di lakukan dan rasional dalam mensikapi fenomena atau problematika bangsa Indonesia.

 Selama 20 tahun berada dalam sistem pemerintahan reformasi belum banyak yang dapat di rasakan bangsa Indonesia khususnya dalam hal kesejahteraan, kenyamanan dan keadilan. Rakyat Indonesia belum layak di kategorikan bangsa yang sejahtera karena masih banyak yang kesulitan memperoleh lapangan pekerjaan dan sulitnya menjangkau kebutuhan sembilan bahan pokok ( Sembako).

Kenyamanan juga belum bisa di rasakan secara optimal. Bangsa Indonesia belum terjamin rasa aman dalam bepergian. Masih sering ada ancaman ( teror) di beberapa tempat tertentu. Penjambretan, penodongan dan pembunuhan masih sering terjadi ditempat tempat keramaian.

Keadilan hukum justru semakin jauh dari harapan. Di era reformasi masih sering mendengar istilah, kehilangan ayam, kalau lapor ke aparat justru harus mengeluarkan biaya setara dengan harga kerbau. Hukum dan keadilan tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Praktik korupsi semakin menjadi jadi, ada kalimat sindiran yang perlu di renungkan. Di zaman orde baru korupsi terjadi di belakang meja, di era reformasi korupsi tidak cukup di belakang meja tapi di korup sampai dengan mejanya. Di zaman orde baru yang bisa korupsi hanya pucuk pimpinan saja, di zaman reformasi semua orang bisa korupsi sehingga melahirkan istilah korupsi berjamaah.

Setidaknya ada tiga macam agenda reformasi yang penting untuk di wujudkan, tata pemerintahan yang demokrasi, penegakan hukum tanpa pandnag bulu dan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Dari tiga agenda tersebut, yang secara formal terasa adalah tatana sistem demokrasi yang ditandai dengan keterbukaan politik dimana masyarakat secara bebas mendirikan partai politik dan masyarakat memiliki kedaulatan dalam menentukan pemimpin karena pemilu di lakusanakan dengan dipilih lansung oleh rakyat. Walaupun amsih banyak kekurangan di sana sini, demokrasi di Indonesia dapat dikatakan memiliki perubahan ke arah yang lebih baik.

Dalam hal penegakan hukum dan pemberantasan KKN, seakan akan seperti jalan di tempat, ada gerakan tetapi belum bisa efektif untuk membuat aparatur pemerintah bersih dan berwibawa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini dapat dilihat semakin hari semakin banyak pejabat pemerintah yang terkena operasi Tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Belum lagi berbicara moralitas bangsa, terasa sangat memprihatinkan. Hubungan antar sesama semakin jauh dari nilai nilai kemanusiaan, agama yang semestinya mengajarkan kedamaian dan kasih sayang berubah menjadi sarana untuk menebar kekerasan dan kebencian.  Pejabat yang bertugas melindungi malah mengintimidasi.

Lembaga pendidikan (sekolah/madrasah) seharusnya sebagai lembaga untuk bereksrpesi dan berkreasi, malah  menjadi lembaga intimidasi yang menyebabkan depresi. Guru yang seharusnya membimbing berubah menjadi personal bullying, siswa semestinya sungkan kepada guru, yang terjadi  sering  melawan guru. Orang tua  (masyarakat) yang  idealnya  mensupport pendidikan justru sering membuat repot pendidikan.

Sosial media diciptakan untuk menumbuhkan mental  positif dan  "nguri nguri" peradaban, malah dimanfaatkan secara negatif yang akhirnya menghilangkan peradaban. Perkelahian  antar pelajar, tawuran antar kampung, antar suporter, antar agama sangat mudah terjadi. Semuanya ini dapat dikatakan akibat reformasi yang berdasar ambisi dan setengah hati.

Fenomena ini tidak boleh dibiarkan, semua elemen bangsa harus melakukan berbagai upaya untuk mewujudkan cita cita reformasi yang smapai sekarang bertercapai. Langkah mendasar, harusi dimulai dari para pemimpin nasional,  tidak cukup hanya sebagai dengan kata kata tetapi pemimpin harus mampu menjadi contoh (uswah) dalam berbagai sikap kepribadian dan perilaku. Pemimpin bukan sebagai majikan rakyat melainkan benar benars ebagai pelayan rakyat (khadim al ummah).

Langkah berikutnya, dalam melakukan kebijakan benar benar didasarkan perencanaan yang matang. Jangan terkesan asal buat kebijakan, asal buat undang undang, tetapi dikemudian hari banyak kekurangan sehingga terkesan gonta ganti kebijakan dan sangat sring melakukan revisi undanag undang. Yang tidak kalah pentingnya adalah hubungan antara penguasa dengan rakyatnya harus benar benar harmonis dalam artian saling memahami tugan dan tanggung jawabnya.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya mengatakan hubungan antara penguasa dengan rakyatnya ibarat sosok manusia yang terdiri dari aspek fisik (lahir)  dan psikologis (batin)  yang tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Mementingkan  fisik meninggalkan  psikologis (batin) menjadi orang gila, sebaliknya mementingkan  psikologi (batin) meninggalkan  fisik (lahir) tidak akan bermakna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun