Mohon tunggu...
M Saekan Muchith
M Saekan Muchith Mohon Tunggu... Ilmuwan - Dosen UIN Walisongo Semarang dan Peneliti Pada Yayasan Tasamuh Indonesia Mengabdi

Pemerhati Masalah Pendidikan, Sosial Agama dan Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Darurat (dalam) Beragama?

17 Mei 2018   07:16 Diperbarui: 17 Mei 2018   12:46 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada tiga hal yang harus menjadi perhatian serius oleh bangsa Indonesia, perilaku korupsi, narkoba dan terorisme. Ditahun politi ini, banyak sekali sikap dan perilaku yang tidak sesuai dengan pesan yang diajarkan oleh agama. Pemahaman pesan agama yang salah bisa melahirkan gerakan terorisme dengan aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, di Rusunawa Sidoarjo Jawa Timur, di Mapolresta Surabaya dan di Mapolda Riau.

Selain itu juga banyak sekali kebiasaan saling lapor kepada aparat penegak hukum tentang tuduhan atau dugaan penistaan agama atau ujaran bernuansa SARA. 

Pada bulan maret sampai april 2018, sudah ada empat oknum yang dilaporkan dengan tuduhan penistaan agama yaitu Sukmawati Sukarno Putri dengan kasus Puisi Ibu Indonesia, Rocky Gerung yang menyebut kitab suci adalah fiksi, Amin Rais dengan pernyatan tentang Partai Allah dan Partai Setan dan Sri Bintang Pamungkas yang mengatakan orang Islam Tionghoa masuk agama Islam dengan pura pura.

Semua agama selalu mengajarkan atau membimbing para pemeluknya untuk berbuat baik. Agama memerintahkan untuk berbuat baik kepada sesama, bertutur kata sopan, beretika, tidak menghujat, tidak mencaci maki dan saling fitnah, tetapi setiap hari caci maki (ujaran kebencian) dan juga fitnah sering kali menghiasai sosial media yang sangat mudah dikonsumsi setiap hari. Itu artinya pesan agama tidak sesuai dengan realita.

Isu agama sangat mudah menyulut api amarah dan anarhisme masyarakat. Alasan menegakkan atau membela agama seringakali menafikan akal sehat serta etika kepada sesama. Berlindung dibalik atas nama kesucian agama, dengan mudah menggiring orang lain ke penjara.

Menganggap ada orang yang menistakan agama, direspon dengan rame rame mengerahkan massa yang dianggap mampu mempressur apatur negara. Inilah realitas beragama bangsa Indonesia yang dikenal bangsa yang ramah, santun, damai dengan siapa saja.

Krisis Beragama

Agama merupakan fenomena yang universal, artinya setiap manusia sesuai dengan zamanya selalu memiliki keyakinan atau kepercayaan melebihi kekuatan akal pikiran manusia. Setiap orang selalu menyadari ada kekuatan yang dahsyat diluar dirinya yang menentukan kesuksesan perjuangan manusia.

Dalam literatur antropologi, seperti dijelaskan oleh Alan Bernard dalam buku " History And Theory in Antropology" bahwa agama adalah sebuah entitas dan realitas yang selalu berubah dan berkembang secara evolutif, sehingga pemahaman atau penafsiran juga harus dilakukan secara kontekstual atau kondisional berdasarkan dinamika budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Agama ibarat uang logam yang memiliki dua sisi yang tidak mungkin dipisahkan yaitu dimensi supranatural (transendental) dan dimensi rasional (realitas sosial). Dalam pandangan Emile Dhurkheim yang dikutip Sindung Haryanto dalam buku " Sosiologi Agama", dikatakan bahwa agama memiliki konsepsi sacral dan profan. 

Konsepsi sacral menunjuk sesuatu yang suci, ber ke Tuhan an, tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia. Dimensi profan menunjuk pada dunia nyata, realitas kehidupan manusia sehari hari yang dikendalikan oleh akal pikir manusia. Dengan kata lain, sacral sama dengan wahyu, profan sama dengan tradisi atau budaya.

Masyarakat yang keyakinan beragama didominasi oleh dimensi sacral, merasa bahwa agama tidak boleh di kotori, dihina dan dilecehkan oleh siapapun. Karena agama adalah sesuatu yang suci dan harus dijunjung tinggi. Merendahkan atau melecehkan agama berarti merendahkan Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Pesan atau teks agama (wahyu) bersifat final, tetap, statis tidak boleh dimaknai selain seperti yang tersurat (tekstual). 

Beragamanya dilakukan dengan klaim kebenaran sehingga merasa dirinya paling benar, menuduh orang lain salah bahkan tidak segan segan memberi predikat kafir, musyriq kepada siapapun yang pemahaman terhadap agama tidak sama dengan dirinya. Melihat agama secara hitam putih dengan menitik beratkan pengamalan agama yang bersifat formalistic-ritualistik. 

Amin Abdullah, dalam Ilyas Ismail (2013) dalam buku " True Islam: Moral Intelektual, Spiritual", menjelaskan ada enam kelemahan dalam memahami agama, yaitu Pertama, dalam aspek teologi, berifat jabariyah atau fatalistik sehingga tidak kondusif untuk melakukan perubahan dan kemajuan. Kedua, dalam aspek moral (akhlaq) hanya menekankan ajaran sopan santun yang bersifat personal (kesalehan individual) sehingga agama terkesan hanya urusan pribadi (privat). 

Ketiga, dalam aspek ibadah hanya terjebak pada amalan atau tindakan rutinitas yang kering makna. Keempat, dalam aspek hukum (fiqh) dianggap sudah final dan lebih memperhatikan bunyi hukum ketimbang semangat atau maknanya. Kelima, agama lebih dipahami hanya sebagai dogma tidak memperkuat kapasitas dan kualitas rasional sehingga tidak memiliki semangat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Keenam, belajar al qur'an lebih menekankan pada bacaanya bukan pada upaya untuk menemukan maknanya.

Beragama bangsa Indonesia dapat dilihat dan dirasakan lebih didominasi dimensi sacral, setidakanya jika dilihat dari komentar dan juga sikap dan perilaku umat Islam melalui sosial media seperti WhatsApp (WA), Twitter, Facebook (FB), Instagram (IG). Setiap hari bahkan setiap jam, bisa di baca berita berita yang melalui akun personal maupun lembaga yang isinya kata kata mendiskriditkan kelompok lain yang dibungkus dengan issu agama (Islam). 

Kalimat Takbir " Allahu Akbar", yang seharusnya untuk motivasi mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah swt, justru dijadikan sarana membakar semangat dan emosi peserta aksi massa yang tujuanya menggagalkan salah satu pasangan calon pilkada dan juga menekan aparat hukum untuk memenjarakan seseorang yang dianggap menistakan agama.

Bulan ramadhan, bulan yang suci dan penuh berkah, dijadikan momentum melakukan kekeraan, merusak tempat hiburan, merazia warung makan. Anehnya, mengatasnamakan amar ma'ruf (mengajak berbuat kebaikan) dan nahi mungkar (melarang perbuatan jahat), tetapi dilakukan dengan cara cara kekeraan yang lebih menakutkan, lebih mencekam dan lebih mengerikan bagi siapapun. 

Terhadap sesama agama, hanya gara gara dianggap memiliki keyakinan dan cara beribadah yang berbeda, dianggap telah menyebarkan ajaran sesat sehingga tega melakukan penyerangan dan penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Toleransi antar agama juga dipersoalkan, dianggap merusak keyakinan atau keimanan. 

Mengucapkan selamat hari raya kepada agama lain dilarang dan dianggap haram. Tokoh atau ilmuan yang memiliki pemikiran berbeda dilarang atau ditolak menjadi nara sumber seminar atau diskusi keagaaan. Agama lain diposisikan sebagai musuh yang harus dilawan dan dimusnahkan, sehingga setiap agama lain merayakan upacara keagamaan aparat hukum mengerahkan pasukan untuk mengantisiapsi dan menjaga hal hal yang tidak diinginkan. Apa akibatnya? Islam terkesan agama yang jauh dari kedamaian, ketenangan dan keharmonisan. 

Islam terkesan agama yang tidak mengenal nilai nilai kemanusiaan. Islam terkesan agama yang menebar kebencian dan anarkhis. Islam terkesan anti demokrasi dan toleransi. Fenomena inilah yang melahirkan kelompok Islam Phobia (takut kepada Islam) sehingga melakukan propaganda dengan menyatakan Islam agama teroris dan criminal.

Islam Indonesia

Islam Indonesia bukan bermakna Islam hanya milik orang Indonesia. Bukan pula Islam hanya berlaku di Indoensia. Islam Indonesia adalah sekumpulan orang Indonesia yang memahami, meyakini dan menjalankan nilai nilai ajaran Islam sesuai dengan situasi dan tradisi yang ada di Indonesia. Islam Indonesia harus memperhatikan sejarah bagaimana Islam masuk ke Indonesia yang dilakukan para ulama masa lalu. 

Rizem Aizid (2016) dalam " Sejarah Islam Nusantara: Analisis Historis hingga Arkeologis tentang Penyebaran Islam di Nusantara", bahwa tidak ada bukti sekecil apapun, Islam masuk ke Indonesia di sebarkan atau dikembangkan melalui kekerasan, ancaman dan teror. 

Tiga teori masuknya Islam ke Indonesia, yaitu teori Arab (Mesir), Persia dan Gujarat menjelaskan bahwa Islam disebarkan melalui cara yang santun, damai, cultural, tanpa paksaan sehingga Islam dengan mudah di terima oleh masyaraat Indonesia yang waku agama hindu dan budha.

Realitas masyarakat Indonesia waktu itu yang senang kepada budaya gamelan, wayang kulit dan lagu lagu (gending) jawa, oleh para walisongo dijadikan sarana atau media untuk "mengkampanyekan" agama Islam kepada masyarakat yang masih memeluk agama Hindu /budha. Salah satu ulama besar bernama Raden Mas Said yang terkenal dengan nama Sunan Kalijaga berhasil memasukan nilai nilai agama Islam melalui kisah atau cerita wayang kulit, seperti jimat kalimosodo yang sebenarnya adalah dua kalimah syahadat yang menjadi syarat seseorang menjadi muslim. 

Keluarga Pendowo lima (jawa: limo/5) dalam kisah wayang kulit adalah keluarga yang terdidi dari lima orang yaitu Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, dirubah oleh Sunan Kalijaga dengan lima macam rukun Islam yang terdiri dari syahadat, shalat, zakat, puasa ramadhan dan haji.

Ulama besar lainnya Raden Maulana Makdum Ibrahim yang terkenal dengan nama Sunan Bonang juga berhasil memasukan nilai nilai ajaran Islam melalui gamelan atau gending yang terkenal yaitu Tombo Ati yang berisi resep ampuh untuk membersihkan hati dan selalu dekat kepada Allah Swt.

Di era global dimana masyarakat sudah maju dan modern, kehidupan ditandai dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat harus diimbangi dengan metode atau cara cara dakwah Islam yang lebih santun, damai dan beradab. Media sosial yang sangat murah dan mudah harus dijadikan sebagai media dakwah yang meningkatkan citra positif Islam bukan malah djadikan ajang saling hujat, caci maki, ujaran kebencian kepada sesama agama maupun yang berbeda agama. 

Mudahnya mengakses informasi harus dijadikan sarana untuk mendalami dan memperluas wawasan keislaman bukan justru untuk mendangkalkan pemahaman terhadap Islam.

Beragama Islam di Indonesia memiliki karakteristik dan keunikan berbeda dengan beragama Islam yang ada di wilayah Timur Tengah, Eropa dan Amerika. Jangan dipaksanakan beragama Islam Indonesia seperti beragama Islam lainya. Semakin jauh dengan model beragama Islam Indonesia maka akan semakin besar peluang menjadi bangsa dalam kategori darurat beragama.

Dr. M. Saekan Muchith, S.Ag, M.Pd Dosen IAIN Kudus, Ketua Dewan Pembina Yayasan/Lembaga Survey Tasamuh Indonesia Mengabdi (TIME) Jawa Tengah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun