Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ada Dalih Agama di Balik Pembangunan "Patung Lucu" Senilai Rp 1 Miliar

10 Februari 2020   18:30 Diperbarui: 10 Februari 2020   18:31 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Gajah Mungkur di Gresik| Foto: Detik

"Dalam Ajaran Islam tak bisa membuat patung yang makhluk bernyawa. Seolah sengaja dibuat seperti itu," kata Ida seperti dikutip dari Radar Surabaya.

Dalih agama di balik pembuatan patung lucu itu bisa saja menuai pro dan kontra. Maka, tanpa bermaksud menghakimi, penulis menilai jika sedari awal ingin mereplikasi patung gajah, maka sejatinya harus dikonsultasikan dahulu secara syar'i kepada ulama atau Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat.

Dalih agama dibalik pembuatan patung lucu itu, juga terkesan dipaksakan. Jika kita melihat simbol negara dengan burung garuda yang digambarkan hampir detil, maka logika yang disampaikan pejabat itu setidaknya bisa kita pakai untuk menggugat lambang Burung Garuda itu.

Tapi, nyatanya masyarakat Indonesia dan pendiri bangsa yang di dalamnya terdapat para ulama ternama juga tidak pernah mempermasalahkan lambang Burung Garuda yang notabenenya adalah makhluk hidup dan direplikasi menjadi semacam patung kecil yang harus ada dan dipasang bahkan di kantor sang pejabat.

Patung Selamat Datang Jakarta yang menggambarkan dua orang sedang melambai, juga replikasi dari makhluk hidup dan dibuat sangat detil. Lagi-lagi jika logika pejabat dengan dalih agama itu disematkan, maka sudah banyak ulama yang akan mempermasalahkan.

Sekali lagi, dalih agama Islam dalam pembangunan patung tersebut justru jauh dari nilai-nilai kebersamaan dan Bhinneka Tunggal Ika. Masyarakat Gresik, tidak semuanya beragama Islam, meski memang mayoritas disana adalah muslim. Tapi, penulis juga menduga tidak semua muslim sepakat dengan alasan pejabat itu.

Pada intinya, estetika juga diperlukan dalam sebuah pembangunan, apalagi sebagai tetenger, jika dibangun seenaknya dan dengan konsep yang seadanya, maka bisa jadi sebuah bangunan malah akan terkesan lucu. Apalagi, kabarnya tetenger itu dibangun untuk menghormati cagar budaya.

Tentu, sebelum melakukan pembangunan harus ada kajian dan konsultasi dari para budayawan atau juga para ahli waris. Nyatanya, sebagaimana diberitakan ahli waris juga menolak pembangunan tetenger Gajah Mungkur itu.

Apalagi dana pembangunan diambil dari CSR yang seharusnya berimbas langsung kepada masyarakat. Memang, selama ini dana CSR banyak yang tidak tepat di daerah. Banyak penelitian yang sudah mengungkapkan hal tersebut dari berbagai riset, meski tidak semuanya begitu di semua daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun