Mohon tunggu...
Muchammad Nasrul Hamzah
Muchammad Nasrul Hamzah Mohon Tunggu... Penulis - Asli

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Film India, Nadiem Makarim, dan Dunia Pendidikan Kita

23 November 2019   06:46 Diperbarui: 26 November 2019   07:18 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendikbud Nadiem Makarim | Sumber: cnbc.com

Kebanyakan orang menganggap  film India hanya berurusan dengan kisah drama cinta yang melankolis, atau cerita seorang inspektur yang menumpas kejahatan. Namun, semua persepsi itu nyatanya tidak benar sama sekali.

Justru, beberapa film India sempat jadi bahan pembicaraan karena ceritanya yang unik atau tema besar yang diangkatnya. Adapula, film India ketika kita menontonnya, seperti mengikuti kelas motivasi dengan trainer super handal.

Sebagai contoh adalah film berjudul "Peepli (Live)" yang diproduksi oleh Aamir Khan Production. Genre-nya adalah komedi, namun film ini sarat akan kritik yang mengena kepada pemerintah setempat.

"Peepli (Live)" mengangkat kisah tentang perjuangan petani yang susah payah mempertahankan lahan pertaniannya dari gempuran pemodal. Petani juga menjadi komoditas politik para elit untuk sekadar diraup suaranya semata, setelah itu dicampakkan begitu saja.

Selain "Peepli (Live)" juga ada film super kontroversial berjudul "PK" yang mengisahkan tentang alien yang mencari Tuhan. Tentu saja film semacam ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, utamanya mereka yang merasa agamanya "dilecehkan".  Tapi pesan utamanya adalah menolak, industrialisasi atas nama Tuhan. Melawan berbagai kelompok yang mengatasnamakan Tuhan untuk meraup keuntungan pribadi.

Tapi begitulah sisi lain dari industri film India. Dibalik gemerlap kisah drama melankolis dibalut tarian dan nyanyian, mereka masih punya gaya lain dalam membuat film. Tak sekadar film receh yang dibuatnya.

Seolah ingin mengeksplorasi semua hal, beberapa film india juga mengangkat tema pendidikan. Bukan drama cinta yang lokasi di tempat pendidikan atau kampus, seperti film "Kuch-kuch Ho Ta Hai" atau "Mohabbatein", namun beberapa film menggambarkan tentang  potret dunia pendidikan di negara tersebut. Bahkan, tak jarang substansi akar masalahnya sama dengan yang terjadi di negara kita Indonesia.

Saya awali dari film "Super 30" yang dibintangi oleh Hrithik Roshan. Film ini merupakan biopik dari pendidik asal India bernama Anand Kumar. Ia berhasil meloloskan para siswanya masuk di universitas ternama India. Uniknya, para siswa Anand Kumar ini adalah dari golongan masyarakat miskin dan tidak mampu.

Film Super 30 | Indiatoday.in
Film Super 30 | Indiatoday.in
Kisahnya dimulai dari Anand Kumar (Hrithik Roshan), sosok jenius dalam bidang matematika. Ia selalu membaca jurnal internasional yang memberikan berbagai soal matematika sulit. Ada pula berbagai soal matematika dari jurnal itu tidak bisa dipecahkan oleh pakar.

Suatu waktu, ia bisa memecahkan soal matematika dari jurnal internasional itu dan diundang khusus oleh Harvard University. Lagi-lagi, karena masalah biaya niatan itu terkubur. Bahkan, ketika ia meminta bantuan pejabat lokal, justru malah ditertawakan dan tidak dihiraukan.

Selang berapa lama kemudian, Anand Kumar yang berita-nya masyhur karena berhasil memecahkan soal matematika diterima mengajar di sekolah ternama. Kedatangannya justru dibelokkan oleh pihak sekolah. Bukan untuk mendidik, melainkan untuk bisnis. Meraup materi.

Alhasil, sekolah itu lantas membuka kelas matematika khusus dengan Anand Kumar sebagai gurunya. Biayanya tak murah. Hanya anak-anak orang kaya saja yang mampu ikut kelas khusus itu. Anand Kumar bergelimang kekayaan.

Akan tetapi, suatu waktu, ia kembali tersadar, jika banyak anak miskin di daerahnya yang berhak mendapat pendidikan setara dan bisa masuk universitas ternama.

Karena itulah, Anand Kumar lantas memutuskan berhenti dari sekolah itu dan membuka sekolahnya sendiri. Khusus masyarakat kurang mampu dan gratis tanpa biaya. Dari kegigihannya itu, Anand Kumar lantas berhasil mencetak murid-murid super yang sukses di berbagai bidang.

Kisah film "Super 30" sepintas memiliki unsur motivasi layaknya kita menonton film "Laskar Pelangi". Tapi lebih dari itu, kisah Anand Kumar tersebut sangat mencerahkan. Pendidikan berkualitas dengan pengajar sekelas Anand Kumar tidak saja harus dinikmati oleh anak orang kaya, melainkan juga wajib dinikmati masyarakat kurang mampu.

"Super 30" juga mengkritisi tentang bagaimana dunia pendidikan yang sarat pengabdian, dibelokkan menjadi sektor bisnis untuk meraup penghasilan. Untung saja, Anand Kumar yang pernah terlibat di dalamnya sadar akan hal itu dan melawannya dengan sepenuh tenaga. Tak hanya fitnah, bahkan ancaman pembunuhan juga pernah dihadapi Anand Kumar. Sebuah harga mahal dari upaya turut memperbaiki dunia pendidikan.

Film kedua adalah "3 Idiots" yang dibintangi oleh Aamir Khan. Mungkin sebagian besar sudah pernah menonton film yang disutradarai Rajkumar Hirani tersebut. Film ini cukup revolusioner, dan membuka mata dunia pendidikan Tinggi di India. Lagi-lagi substansi permasalahannya ada yang sama dengan di Indonesia.

Film 3 Idiot | Goldposter.com
Film 3 Idiot | Goldposter.com
Pada tingkat pendidikan tinggi, di India terjadi banyak mahasiswa bunuh diri karena mereka stres dengan pola belajar di universitas. Layaknya robot, mahasiswa dituntut banyak menghafal, "text book" dan belajar dengan cara yang sangat rumit.

Lalu seorang mahasiswa cerdas bernama Ranchodas mengubah paradigma itu semua. Sebagai mahasiswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata Ranchodas hanya ingin memberikan penyederhanaan agar belajar bisa dipahami, bukan dihafal. Belajar itu dinikmati agar memberikan dampak positif.

Salah satu adegan yang paling mengena dalam film ini adalah ketika Ranchodas mengikuti kelas teknik. Saat itu membahas soal mesin. Sang dosen bertanya kepada Rancho tentang apa itu mesin. Bukannya menjawab dengan definisi Ranchodas yang dibintangi oleh Aamir Khan justru memberikan jawaban simple yang mengena.

Menurutnya mesin adalah yang memudahkan dan membantu kinerja manusia. Ia mencontohkan ponsel, pulpen, bahkan resleting celana juga bagian dari mesin. Sontak saja, jawaban itu diprotes oleh sang dosen yang meminta Rancho menjabarkan definis mesin. Karena lama tak menjawab, akhirnya salah satu mahasiswa teladan yang hafalannya banyak menjawab dengan memberikan definisi panjang soal mesin. Dosen pun puas dengan jawaban itu.

Ranchodas protes. Jawabannya sama dengan definisi mesin yang diutarakan kawannya satu kelas. Ia berkata jika ia menyederhanakan definisi itu agar tidak menjadi rumit. Lagi-lagi sang dosen tak terima dan marah. Ia lalu mengusir keluar Ranchodas dengan kata makian "idiot".

Belum sampai keluar, Ranchodas yang hendak kembali ke kursinya, ditanya oleh dosennya kenapa kembali. Ia bilang lupa sesuatu di mejanya.

Lalu ia memberikan definisi panjang tentang barang yang terlupa di mejanya itu. Dosennya bingung. Lalu bertanya definisi apa yang baru saja diutarakan. Ranchodas lalu menjawab jika itu definisi buku. Ia lupa bukunya tertinggal.

Dosennya marah, karena Ranchodas tidak menjawab secara sederhana dengan kata buku. Lalu Ranchodas menyanggah jika pada saat menjawab mesin ia mencoba menyederhanakan tapi diprotes dan ketika menjawab buku dengan definisi panjang pun juga diprotes.

Adegan dialog antara Ranchodas dan dosennya itu cukup menohok dunia pendidikan. Hafalan, proses belajar mengajar yang rumit masih menjadi permasalahan. Padahal belajar adalah tentang bagaimana memahami apa yang sedang dipelajari. Bukan terjebak pada definisi super rumit yang jika dijawab tidak sama dengan kamus, maka jawaban itu akan salah.

Saya sendiri mengalami hal itu saat menempuh pendidikan Strata-2. Diwajibkan menghafal. Padahal mata kuliahnya adalah "Filsafat Hukum". Jelas saya menolak cara belajar seperti itu apalagi di strata-2. Sehingga saya memutuskan tidak meluluskan diri dalam mata kuliah itu dan kembali mengulang di semester mendatang. Karena yang saya butuhkan bukan hafalan, tapi pemahaman mendalam tentang hakikat hukum dalam konteks filsafat.

Lalu saya teringat akan quotes Ranchodas dalam film tersebut yang cukup fenomenal. Bunyinya kira-kira begini:

And this is a college, not a pressure cooker! The lion in a circus learns that he needs to sit on the chair if his owner has a whip in his hand. But that lion is called well-trained, not well-educated. (Universitas bukanlah panci presto! Singa sirkus diajarkan jika ada pemiliknya yang membawa cambuk datang, maka ia akan duduk di kursi. Tapi singa itu bisa kita katakan terpelajar, namun bukan terdidik).

Film terakhir yang saya bahas adalah "Hindi Medium". Ringkas ceritanya, film ini berkisah tentang orangtua yang akan menyekolahkan anaknya di sekolah favorit.

Segala upaya dilakukan. Mulai panjat sosial agar diakui masyarakat sebagai orang kaya, menyogok guru dan kepala sekolah. Hingga paling parah, adalah pura-pura menjadi miskin agar anaknya bisa masuk sekolah favorit dari jalur yang dibuka untuk masyarakat tidak mampu.

Tentu potret ini masih ada di dunia pendidikan Indonesia. Baik itu hendak masuk sekolah dengan sistem zonasi, ataupun mencoba masuk perguruan tinggi.

Ada banyak berita tersebar di media massa, bahwa jika ingin masuk universitas ternama harus membayar kepada calo.  Atau juga ada yang hendak memalsukan alamat agar sekolah anaknya masih dalam radius sekolah tersebut.

Semua permasalahan yang diungkap berbagai film itu muaranya adalah untuk perbaikan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia. Usai Presiden RI Joko Widodo menunjuk mantan CEO Gojek, Nadiem Makariem sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sontak ada harapan baru bagi masyarakat Indonesia.

Sebagian besar menunggu gebrakan apa yang hendak dilakukan oleh menteri dari kalangan millenial itu. Seperti Anand Kumar dan Ranchodas seperti yang saya ceritakan di atas, kita juga berharap Nadiem Makarim memberikan terobosan-terobosan revolusioner dalam bidang pendidikan.

Indonesia memang diprediksi akan mengalami bonus demografi, dimana jumlah angkatan usia aktif lebih banyak. Hal ini tentu membutuhkan jawaban dari berbagai sektor, termasuk dunia pendidikan. Mendidik anak bangsa agar siap bekerja merupakan solusi. Tapi mendidik mereka menjadi ahli, juga tak harus dinafikkan.

Ikatan Guru Indonesia (IGI) belum lama ini juga mengusulkan kepada Nadiem Makarim agar mengurangi mata pelajaran bagi siswa SD, SMP dan SMA. Tujuannya, agar proses belajar mengajar lebih mudah, dan sebagai solusi mengatasi kekurangan guru di daerah terpencil. Usulan semacam ini cukup penting, lantaran pelajaran bagi siswa sekolah dasar, menengah dan SMA adalah tentang pemahaman.

Belum lagi, cita Nadiem Makarim yang ingin menghidupkan kembali pendidikan karakter di sekolah. Tentu, hal ini juga sangat penting, karena pendidikan berbeda dengan pengajaran. Tentu ini bukan pekerjaan mudah bagi sosok Nadiem Makarim. Tugas berat ini, harus mendapat dukungan dari banyak pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun