[caption id="attachment_328525" align="aligncenter" width="448" caption="Saya menyerahkan buku "][/caption]
Oleh MUCH. KHOIRI
Pada acara bedah buku di Fakultas Enonomi dan Bisnis, IAIN Tulungagung, 7 Oktober 2014, saya membangkitkan sebuah impian. Mengingat tema besar bedah buku Boom Literasi: Menjawab Tragedi Nol Buku (2014) adalah writerpreneurship, di sini marilah kita bangkitkan impian literasi, di kampus yang dipenuhi kaum santri—istilah yang sejatinya cocok untuk siswa mengaji yang biasa tinggal di pondok pesantren.
Impian itu adalah tumbuh dan berkembangnya budaya literasi di kampus ini, yang digerakkan oleh para tokoh dan pegiat literasi secara serius dan berkesinambungan. Setidaknya, budaya literasi di sini mencakup budaya baca dan budaya menulis yang baik di dalam situasi yang kondusif. Impian itu akan membuat orang bahagia jika terwujud nyata, dan akan sedih sesedih-sedihnya ketika gagal. Impian bukan sekadar keinginan, melainkan “kebutuhan” yang harus tercapai.
Apakah tolok ukur ketercapaian itu kuantitatif atau kualitatif sifatnya, yang jelas, ada prasyarat minimal yang bisa dipenuhi oleh lokasi dan situasi setempat. Pertama, yang mendasar, kaum santri di kampus IAIN Tulungagung ini sejatinya sudah saatnya bangkit kesadarannya bahwa membaca (iqra) itu sama wajibnya dengan menulis (qalam). Menulis dan membaca adalah saudara kembar keterampilan yang sama-sama harus ditunaikan. Wajib, bukan makruh atau mubah.
Pemahaman kaum santri di kampus tinggi tentang “kewajiban” tersebut tentu sudah ada. Tinggallah mengingatkan (lagi) untuk membangkitkan dan menguatkan kesadaran mereka, termasuk bahwa sebagai manusia yang beriman, para dosen dan mahasiswa (kaum santri kampus) wajib hukumnya untuk selalu (belajar) membaca dan menulis. Tak bisa ditawar-tawar lagi.
Kedua, untuk menggugah para kaum santri di atas, ada para tokoh yang layak untuk tampil sebagai penggerak literasi. Di antaranya Dr. Abad Badruzaman (Dekan Fak. Ushuluddin dan Dakwah), Prof. Dr. Mujamil M.Ag., Dr. Agus Eko Sujianto M.M. (Wadek 3 Fak. Ekonomi dan Bisnis), Dr. Eni Setyowati, MM. (Kepala Pusat Studi Gender dan Anak), Dr. Ngainun Naim, dan Abdul Hakam Sholahuddin, M.M. Tentu, masih ada tokoh lain yang pantas dideretkan di sini.
Potensi mereka layak dimaksimalkan untuk menggugah dan menggerakkan budaya literasi di kampus kaum santri ini. Mereka bisa tampil sebagai motor penggerak, dan pelaksana dalam penciptaan budaya literasi. Cukup diyakini bahwa mereka telah menghasilkan sesuatu karya, termasuk buku-buku yang telah mereka tulis. Itu artinya mereka telah memberikan keteladanan yang mulia—dan pantas untuk diteladani.
Ketiga, impian saya, ya itu tadi: keteladanan. Pembudayaan literasi haruslah dibangun dengan pemberiaan keteladanan. Mahasiswa biasanya melihat dosen untuk diteladani, demikian pun para dosen melihat dosen lain yang pantas diteladani—atau pejabat yang memang pantas diteladani. Jika demikian, para pimpinan di kampus kaum santri ini harus memulainya lebih dulu—dengan suka membaca dan menulis, agar diteladani oleh dosen dan mahasiswa untuk berkebiasaan membaca dan menulis.
Mustahil sesuatu yang baik bisa ditularkan atau dididikkan tanpa adanya keteladanan. Kita harus telah membiasakan membaca dan menulis ketika kita ingin orang lain membiasakan membaca dan menulis. Jika prinsip keteladanan ini tak dipenuhi, menyuruh orang lain untuk melakukan apa yang tidak kita lakukan, adalah omong kosong belaka. Orang bilang, action speaks more than words, tindakan lebih bicara banyak dari pada kata-kata.
Perpaduan modal sosial yang dimiliki oleh para dosen dan mahasiswa, menjadi penting bagi upaya penciptaan budaya literasi. Kekuatan internal ini, jika dikelola dengan serius, akan membantu meringankan setiap kendala yang bakal merintang—di antaranya pendanaan, dukungan para pihak yang terkait, dan sebagainya. Percayalah, ada banyak kendala; tapi juga percayalah, kendala akan teratasi selagi para insan intelektual itu lebih fokus pada solusi atas kendala yang ada, bukan fokus pada kendala/masalah.
Keempat, inilah yang mendasar: kebijakan. Saya titipkan impian, pimpinan kampus IAIN Tulungagung ini menggariskan kebijakan untuk membudayakan literasi. Kebijakan ini merupakan “payung hukum” bagi implementasi program-program literasi yang akan dikembangkan. Konsekwensinya banyak dan luas, termasuk kebijakan anggaran atau pendanaan yang hendak dikeluarkan. Tanpa kebijakan ini, kendala implementasi pastilah akan merintang—yang mungkin saja, lebih ruwet dan membingungkan.
Beberapa hal di atas hanya bagian dari keutuhan impian saya, tentang terbangunnya budaya literasi di kampus kaum santri ini. Merekalah yang jauh lebih tahu tentang kekuatan dan kekurangan yang mereka miliki, dan kemudian menimbang-nimbang apakah yang seharusnya dilakukan. Meski mungkin terdengar “mustahil” di mata umum, impian harus dimulai. Sama dengan menulis, yang menyatakan bahwa tak akan pernah selesai satu buku kecuali memualai menulis satu kata pertama dan dilanjutkan kata-kata selanjutnya, maka impian untuk meraih predikat kampus berbudaya literasi juga tidak bisa diambil dalam sekejap.
Bagaimana pun, untuk meraih semua itu, setiap insan kampus harus menaruh impian besar. Tanpa impian, sebagaimana kata penyair AS Langston Hughes, hidup laksana burung yang berpatah sayapnya yang kuasa terbang. Juga tanpa impian besar, hidup adalah ladang tandus, yang membeku bersama salju. Maka, izinkanlah saya menitipkan gagasan ini pada insan-insan literasi di kampus kaum santri itu. Semoga terlaksana dan sukses!
Surabaya, 11/10/2014