Mohon tunggu...
Mubarok
Mubarok Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer, Mahasiswa Juga

LAHIR DAN BESAR DARI KELUARGA SEDERHANA, MENCOBA MENJADI MANUSIA YANG BERMANFAAT

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bhinneka Tunggal Ika dan Nasionalisme

8 November 2012   02:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:47 4510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bhinneka Tunggal Ika seperti kita pahami sebagai motto Negara, yang diangkat dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar Mpu Tantular pada jaman Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu. Motto ini digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan sosial-kultural dibangun diatas keanekaragaman[1]

Bhinneka Tunggal Ika adalah semboyan bangsa yang tercantum dan menjadi bagian dari lambang negara Indonesia, yaitu Garuda Pancasila. Sebagai semboyan bangsa, artinya Bhinneka Tunggal Ika adalah pembentuk karakter dan jati diri bangsa. Bhinneka TunggalIka sebagai pembentuk karakter dan jati diri bangsa ini tak lepas dari campur tangan para pendiri bangsa yang mengerti betul bahwa Indonesia yang pluralistik memiliki kebutuhan akan sebuah unsur pengikat dan jati diri bersama. Bhinneka Tunggal Ika pada dasarnya merupakan gambaran dari kesatuan geopolitik dan geobudaya di Indonesia, yang artinya terdapat keberagaman dalam agama, ide, ideologis, suku bangsa dan bahasa[2].

Kebhinekaan Indonesia itu bukan sekedar mitos, tetapi realita yang ada di depan mata kita. Harus kita sadari bahwa pola pikir dan budaya orang Jawa itu berbeda dengan orang Minang, Papua, Dayak, Sunda dan lainnya. Elite pemimpin yang berasal dari kota-kota besar dan metropolitan bisa jadi memandang Indonesia secara global akan tetapi elite pemimpin nasional dari budaya lokal tertentu memandang Indonesia berdasarkan jiwa, perasaan dan kebiasaan lokalnya. Ini saja menunjukkan kalau cara pandang kita tentang Indonesia berbeda. Jadi tanpa kemauan untuk menerima dan menghargai kebhinekaan maka sulit untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Apa yang dilakukan oleh pendahulu bangsa ini dengan membangun kesadaran kebangsaan atau nasionalisme merupakan upaya untuk menjaga loyalitas dan pengabdian terhadap bangsa.

Selama ini sifat nasionalisme kita kurang operasional atau hanya berhenti pada tataran konsep dan slogan politik. Nasionalisme bisa berfungsi sebagai pemersatu beragam suku, tetapi perlu secara operasional sehingga mampu memenuhi kebutuhan objektif setiap warga dalam suatu negara-bangsa. Tradisi dari suatu bangsa yang gagal memenuhi fungsi pemenuhan kebutuhan hidup objektif akan kehilangan peran sebagai peneguh nasionalisme. Saat ini diperlukan tafsir baru nasionalisme sebagai kesadaran kolektif di tengah pola kehidupan baru yang mengglobal dan terbuka. Batas-batas fisik negara-bangsa yang terus mencair menyebabkan kesatuan negara kepulauan seperti Indonesia amat rentan terhadap serapan budaya global yang tidak seluruhnya sesuai tradisi negeri ini. Disamping itu realisasi otonomi daerah yang kurang tepat akan memperlemah nilai dan kesadaran kolektif kebangsaan di bawah payung nasionalisme.

Menurut Profesor Abdul Munir Mulkhan, kekukuhan nasionalisme di dalam diri bangsa ditentukan posisi dan seberapa ia berakar dalam “dunia batin” warga bangsa tersebut. Nasionalisme yang sekedar konsensus politik nasional, akan mudah pudar bersama perubahan sosial yang semakin cepat di era global ini. Wawasan nasionalisme akan tetap segar jika ia juga merupakan daya spritual dan kesadaran hidup di dalam diri orang atau warga bangsa. Karena itulah nasionalisme seharusnya selalu disegarkan kembali dan didialogkan bersama seluruh warga suatu bangsa tersebut. Nasionalisme yang berhenti sebagai doktrin ideologis kenegaraan kurang berakar dalam kesadaran hidup warga. Kesadaran nasionalisme (NKRI) tumbuh kukuh dalam diri rakyat kebanyakan yang rela berkorban bagi kepentingan nusa bangsanya, ketika mereka merasa menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kebangsaan itu. Kesadaran primordial rakyat nampak lebih kental dibanding elite yang lebih rasional. Namun ketika rakyat itu melihat praktek kekuasaan yang egois bagi kepentingan elite, muncul kritik dan pemberontakan budaya[3].

Sejarah penyatuan Indonesia adalah contoh konkret keberhasilan dari penerapan Bhineka Tunggal Ika. Lebih dari satu dekade yang lalu, Ben Anderson melontarkan gagasannya tentang masyarakat khayalan (imagined communities). Konsep ini menarik karena Anderson, mengklaim bahwa nasionalisme berakar dari sistem budaya dalam suatu kelompok masyarakat yang saling tidak mengenal satu sama lain. Kebersamaan mereka dalam gagasan mengenai suatu bangsa dikonstruksi melalui khayalan yang menjadi materi dasar nasionalisme. Dibayangkan karena setiap anggota dari suatu bangsa, bahkan bangsa yang terkecil sekalipun, tidak mengenal seluruh anggota dari bangsa tersebut. Nasionalisme hidup dari bayangan tentang komunitas yang senantiasa hadir di pikiran setiap anggota bangsa yang menjadi referensi identitas sosial. Pandangan yang dianut Anderson menarik karena meletakkan nasionalisme sebagai sebuah hasil imajinasi kolektif dalam membangun batas antara kita dan mereka, sebuah batas yang dikonstruksi secara budaya melalui kapitalisme percetakan, bukan semata-mata fabrikasi ideologis dari kelompok dominan. Dalam konsep Anderson, nasionalisme Indonesia terbentuk dari adanya suatu khayalan akan suatu bangsa yang mandiri dan bebas dari kekuasaan kolonial, suatu bangsa yang diikat oleh suatu kesatuan media komunikasi, yakni bahasa Indonesia. Bhineka Tunggal Ika bukan slogan politik. Nasionalisme tidak bergantung pada mitos saja, tetapi juga harus melihat realita kebhinekaan Indonesia.

[1]Oleh Prof Dr Udin S.Winataputra,M.A. 2009. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal IKa dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia. Dikutip dari http://baehaqiarif.wordpress.com/2009/02/19/63/ diakses 6/8/2012/10.43 wib

[2](Rahman, 2010: 8) dalam Sari Monik Agustin, 2011:195, Prosiding seminar komunikasi UI, 2011

[3]Dikutip dari http://mubarok01.wordpress.com/2009/09/, diakses 6/8/2012/10.48

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun