Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Imaji Sebelum Kisah Itu Terjadi

25 Januari 2022   14:30 Diperbarui: 25 Januari 2022   14:34 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siapa dari kita yang tidak mengenal Jaka Tarub? Dia, laki-laki licik yang berhasil memperistri seorang perempuan cantik yang pernah ada di bumi. Perempuan malang yang karena keadaan dengan terpaksa menerima kelicikan laki-laki sebelum pada akhirnya sadar, bahwa dirinya korban dari kebusukan tangan manusia. Pernah saya bertanya-tanya, mengapa pembuat kisah cerita rakyat itu harus menempatkan perempuan (entah siapa pun dia, seorang bidadari ataupun hanya perempuan biasa) sebagai objek pelampiasan. Perusakan atas keindahan telah sengaja diciptakan. Setidaknya ini lah yang juga dirasakan oleh penyair Subagio Satrowardoyo ketika melihat kisah Jaka Tarub yang mengendap-endap dari balik semak melihat kemolekan tubuh telanjang tujuh bidadari. Hanya kebetulan, Nawangwulan yang menjadi korban dari cara acak Jaka Tarub dalam memainkan drama yang dibuatnya. Terlepas dari kehendak si pembuat cerita yang menempatkan Jaka Tarub sebagai kisah asal-usul atau sekadar pelipur lara, kisah itu tetap saja memperlihatkan sebuah "perusakan atas keindahan".

Sekarang, mari kita membaca sebuah puisi karya Subagio Sastrowardoyo yang berjudul "Sebelum Ada Jaka Tarub"(dimuat dalam jurnal budaya Kalam, edisi 6 tahun 1995):

       Hanya danau di sela cemara yang merenung di tepi gunung. Ada

burung di ranting, di air kilau matahari.

       Tak ada suara, kecuali gelak ketawa bidadari yang pada mandi

siang hari.

       Ah, jangan ada tangan manusia yang menyentuh!

17/3/85    4.50

Imaji yang muncul dari puisi Subagio tersebut merupakan wujud adanya keinginan penyair untuk mempertahankan keindahan. Alam yang belum ternoda oleh "tangan manusia". Alam yang tidak hanya dipahami sebagai keindahan geografis semata. Namun juga dimengerti dalam konsep alam sebagai karakter manusia yang memelihara keseimbangan hubungan sesama. Sebelum ada "tangan manusia" Jaka Tarub, harmonisasi tujuh bidadari tergambar lewat baris "gelak tawa bidadari yang pada mandi siang hari". Hubungan ketujuh perempuan cantik itu menjadi rusak tatkala salah satu dari mereka tetap berada di bumi. Keterpisahan menjadi hal yang tak terelakkan. "Tangan manusia" Jaka Tarub telah menciptakan disharmoni atas keindahan hubungan mereka. Imaji yang tercipta dari puisi itu berhasil mengkonkretkan keinginan penyair, mungkin juga pembacanya, bahwa harmonisasi keindahan seharusnya dipertahankan. Sayangnya, Jaka Tarub telah menodainya dengan tipu muslihat yang dimainkannya.

Inilah puisi sederhana namun sangat kuat pada pesan yang ingin disampaikannya dan Subagio Sastrowardoyo berhasil membawa kita untuk sampai pada keindahan yang semestinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun