Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

M. Hatta, Riwayat dan LDR Zaman Pergerakan

29 Desember 2018   10:07 Diperbarui: 29 Desember 2018   10:28 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pinterest.com/baron andrie

Cara terbaik Hindia Belanda untuk menghentikan perlawanan adalah mensabotase setiap koneksi antar pemberontak yang sekarang kita kenal sebagian besar sebagai Pahlawan Nasional. Mereka membatasi setiap bentuk-bentuk komunikasi yang dinilai memiliki unsur kebencian terhadap negara, dan cara pembatasannya bisa dengan proses sensor pada media komunikasi hingga penahanan alat komunikasi atau pembredelan penerbitan media. Ini memang banyak dirasakan oleh berbagai media yang disinyalir berseberangan dengan kebijakan dan kekuasaan Orba dan dipraktekkan juga dahulu oleh Pemerintahan Hindia Belanda agar kebijakan politik etis mereka tidak menjadi kacau akibat keringanan terhadap hak-hak warga nusantara saat itu.

Mohammad Hatta adalah orang yang bisa dibilang sering lolos dalam proses komunikasi dengan Soekarno, baik itu lewat media cetak maupun surat menyurat. Hal itu karena pergerakan Hatta tidaklah terlalu garang ketimbang Soekarno dan PNI-nya yang begitu berapi-api hingga Soekarno ditahan di Bandung. Agar koneksinya dengan Hatta di Belanda berjalan lancar, seringkali bung Karno menyurati Hatta menggunakan nama samaran, dan nama samarannya adalah Pak Rachmin.

Hatta yang memang bergerak memperjuangkan hak-hak merdeka para warga nusantara di Belanda mendirikan Perhimpunan Indonesia (PI), namun ia terkesan dengan figur seorang Soekarno. Orator ulung nan berbakat menjadi julukan yang lekat dalam ingatan Hatta jika berbicara tentang PNI dan Soekarno. Kabar-kabar tentang Soekarno pun sering ia dapat dari koran-koran di Belanda, kabar dari sesama anggota PI dan juga surat dari Soekarno sendiri.

Marcel Koch, seorang anggota studi klub yang didirikan Soekarno menjadi satu dari beberapa orang yang mengetahui hubungan antara keduanya. Ia pun mengatakan bahwa mereka berdua memang benar-benar nyambung karena ketertarikan yang sama, yaitu sejarah. Soekarno selalu menggunakan fakta-fakta sejarah dan menjadikannya sebagai materi pidato, sementara Hatta memang sangat cerdas dalam bidang ini dan seringkali mengajarkan ilmu-ilmu sejarah tersebut pada anaknya yaitu Halida Nuria Hatta.

Beberapa Anggota PNI pun menjadi saksi atas peran Hatta dalam membantu organisasi yang didirikan oleh Soekarno tersebut. Hatta berperan sebagai "Penasehat" bagi organisasi tersebut untuk memberikan saran-sarannya perilah agenda pergerakan dari PNI ini di Indonesia. Namun, caranya bukanlah langsung pada Soekarno namun langsung pada anggota PNI via surat kabar Persatuan Indonesia.

Selain dari pergerakan dan organisasi yang baik dan terarah, peran Soekarno-Hatta juga terletak dari penegasan nama Indonesia sebagai suatu nama pengganti dari "Hindia Belanda". Soekarno menggunakan kata "Indonesia" dalam sebuah rapat besar PNI tahun 1922 --meskipun pada akhirnya mendapat peringatan dari otoritas Hindia Belanda, karena saat itu sangat dilarang, sementara Hatta pernah menulis tulisan yang di dalamnya tersurat kata "Indonesia" yang diambil dari ucapan dua etnolog, yaitu James Richardson Logan dan Adolf Bastian.

Peran mereka berdua sebelum bertemu memang seru untuk dilacak secara kronologis apalagi sangat muda dinikmati oleh yang mengerti jalan ceritanya. Ternyata, meskipun komunikasi tidak secanggih dan sebebas sekarang namun mereka tetap dapat bertukar pikiran meskipun dibayangi ancaman "pengasingan komunikasi" oleh pihak penjajah. Disini mereka mengajarkan bahwa jika kita bisa mengenal dengan baik lawan bicara kita, maka berbagai cara berkomunikasi yang digunakan akan sangat lancar dan cepat dimengerti oleh satu sama lain.

Referensi: De Jonge, W.W. (2015). Soekarno-Hatta Bukan Proklamator Paksaan. Yogyakarta: Galang Pustaka

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun