Mohon tunggu...
mts ddi
mts ddi Mohon Tunggu... Guru - Madrasah Hebat

Is The Best Choice

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apakah Hukum Itu Dibangun Berdasarkan Hikmah Atau 'Illat?

15 September 2019   16:18 Diperbarui: 15 September 2019   16:18 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Subair, Pimpinan Pondok Pesantren Al-Mukhlisin DDI Paria

Dalam masalah hukum rukhsah, itu ada dua pertama ada 'illat yang kedua ada hikamah. Nah sekarang pertanyaannya hukum itu dibangun berdasarkan hikmah atau berdasarkan illat? Ternyata hukum itu dibangun berdasarkan 'illat buniyal hukmu 'ala illatin wela yubnal hukmu 'ala hikmatin "hukum berdasarkan illat" ada illat ada hukum tidak ada illat tidak ada hukum alhukmu yaduru ma'aillatihi 'adaman wewujudan.

Tapi kalau alhukmu yaduru ma'ahikmatihi 'adaman wewujudan maka hukum itu tidak memberikan kepastian. Bisa sangat fleksibel nanti misalnya kenapa boleh menjamak dan mengkasar supaya tidak mengalami kesulitan lalu dijawab apa sih sulitnya? Apalagi orang penting, keluar rumah pintu mobil dibuka, naik mobil Alphard, didalam mobil senang apa sulitnya.

Ke jakarta naik pesawat tiba dibandara menuju ruang tunggu nyaman apa sulitnya tidak ada. Tapi kalau dia naik sepeda, jalan kaki iya agak sulit, nanti hukum tidak ada kepastian kalau berdasarkan hikamah. Tapi hikmah itu bisa ada untuk satu orang bisa tidak, sementara hukum untuk semua. Biasanya kita mengatakan diantara hikmah puasa supaya kita merasakan bagaimana susahnya orang miskin lapar itu hanya berlaku pada orang kaya yang tidak pernah lapar. Nanti didengar oleh orang miskin, ah tidak usah puasa saya sudah mengalami lapar setiap hari, enggak berlaku kan.

Padahal hukum itu untuk semua, oleh sebab itu jamak qashar itu hanya berbicara illat buniyal hukmu 'ala 'illat. Apa illatnya? 'Illatnya melakukan safar, kalau sudah memenuhi syarat safar berarti boleh menjamak boleh mengqashar ada hukum, tercapai atau tidak tercapai hikmahnya. Tapi walaupun misalnya semua serba mudah ada orang mengatakan saya ke Jakarta tidak usah menjamak dan mengqashar gampang kok, tapi bisa saja terjadi sesuatu seperti delay (menunda), kalau tidak delay begitu dia nanti tiba menurut perhitungan dia nanti shalat di Jakarta terus terbang tau-tau cuaca buruk disana muter-muter pesat diatas karena tidak bisa mendarat akhirnya diputuskan tidak bisa mendarat balik lagi, begitu balik lagi waktu shalat ashar udah habis.

Nah kadang-kadang sesuatu yang kita perkirakan lancar bisa jadi tidak lancar sehingga kalau dia mengambil posisi ibadah kalau begitu saya menjamak dan mengqashar. Masih tersisa satu pertanyaan kalau itu rukhsah (keringanan) lebih baik diambil atau tidak? Kalau saya musafir Saya lebih baik shalat seperti mukim empat rakaat tidak menjamak dan tidak mengqashar atau lebih baik saya mengambil jamak dan mengqashar? Itu mana yang lebih baik? Dalam hal ini harus ada petunjuk dari dalil.

Kalau ada petunjuk menyatakan bahwa tidak diambil lebih baik baru kita nyatakan tidak diambil lebih baik, khilaf rukhsah aula. Jadi namanya arrukhsah khilaf aula. Misalnya puasa, orang yang berpusa kan diberikan keringanan, kalau dia dalam perjalanan, sakit, hamil tetapi diujung ayat dikatakan weantasumu khairullakum inkuntum ta'lamun, sekalipun kamu dapat keringanan musafir boleh tidak berpuasa , sakit boleh tidak berpuasa tapi kalau kamu tetap berpuasa itu lebih baik.

Maka dalam kasus puasa berlaku khilaf aula, walaupun ada keringanan tidak diambil keringanan itu karena hal tersebut lebih baik. Tapi kalau tidak ada penjelasan, petunjuk dari nash bahwa khilaf aula maka arrukhsah aula. Dalam shalat, safar, ada petunjuk sehingga kalau menurut hemat saya kalau kita musafir dijamak dan diqashar lebih utama dari pada tidak itu namanya rukhsah aula.

Batasan waktu musafir para ulama memang dalam hal ini berbeda-beda pendapatnya ada yang mengatakan tiga hari, tiga hari itu sudah cukuplah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru lebih dari tiga hari dianggap sudah mukim. Tapi ada yang berpendapat selama tidak ada niat untuk mukim dia musafir. Mau tiga hari mau seminggu mau sepuluh hari mau sebulan dua bulan tidak ada niat untuk menetap maka hukumnya tetap musafir.

Alasanya sahabat-sahabat Nabi pernah pergi berperang terkurung oleh musim dingin terus tidak bisa pulang disana sampai tujuh bulan. Nah selama tujuh bulan itu mereka menjamak dan mengqashar, karena meganggap kami tidak ada niat mukim, tapi cuaca yang menyebabkan kami harus mukim. Maka statusnya tetap musafir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun