Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sudilah Kompasianer Tak Menggunakan Kata-kata Ini

27 Mei 2015   13:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Saya tak berminat lagi membicarakan perjamuan siang sejumlah blogger Kompasianer dengan Presiden Jokowi.

Saya sudah mencapai titik jenuh membaca artikel tentang perjamuan itu.Bagi saya, semuanya sudah jelas.Presiden Jokowi secara pribadi mengundang sejumlah blogger Kompasianer yang setia mendukungnya. Titik!

Saat membaca artikel Pepih Nugraha tentang pertemuan itu, kepuasan marginal saya sudah mencapai angka 1.0.Pada artikel pertama yang menyusul, kepuasan marginal jadi 0.0, dan pada artikel selanjutnya -1, -2, dan seterusnya.

Lalu mengapa saya masih menulis artikel ini?Semata-mata karena sedikit terganggu oleh penggunaan kata-kata tertentu dalam artikel beberapa rekan Kompasianer peserta perjamuan itu.

Kata-kata itu jelas ditujukan kepada rekan-rekan Kompasianer pengritik Jokowi yang sudah pasti tak diundang ikut perjamuan siang itu.

Inilah kata-kata, atau mungkin tepatnya frasa, yang saya maksud.

Gunawan: “… fitnah atau … kebencian semata”

Tulis Gunawan: “Walau banyak kicauan dan sindiran miring atas adanya undangan dari Presiden Jokowi  baik untuk para mahasiswa dan para bloger ini tak menyurutkan langkahku untuk tetap memberitakan kebenaran, keberanian dan kejujuran seorang Jokowi. Biar saja kalian mengatakan saya sudah minum cucian kaki pak Jokowi atau kalian mengatakan saya penyembah Jokowi atau ejekan sekasar apapun saya tetap membela pak Jokowi selama beliau masih jujur, masih berani, dan masih dalam kebenaran. Saya dan rekan-rekan yang lain punya tolok ukurnya bukan sekedar fitnah atau hanya berdasarkan kebencian semata.”

Pertanyaannya, apakah benar “kicauan dan sindiran miring atas adanya undangan” itu sekedar fitnah atau hanya berdasarkan kebencian semata?Saya kira, kita perlu memahami semua “kicauan dan sindiran miring” itu dari sisi subyek pengicau atau penyindir.Apakah motifnya sungguh fitnah atau kebencian?

Saya kira, Gunawan hanya berasumsi di sini.Bahwa semua suara miring tentang Jokowi pastilah fitnah atau berdasar kebencian.Padahal, kalau mencoba untuk empati, sangat mungkin bahwa suara miring itu sebenarnya adalah bentuk kritik, dan dengan cara itulah mereka mendukung Jokowi.

Thomson Cyrus:“… lovers vs haters Jokowi”

Thomson menulis begini: “Perang opini yang membuat kita terpisah, hingga ada gelar, sebutan, Lovers vs Haters Jokowi. Apalah arti Jokowi lover tanpa kehadiran anda Jokowi Haters. Saya tidak perlu benci dengan anda, justru saya harus berterimakasih kepada anda Jokowi Haters, ini bukan rasa terima kasih yang berpura-pura, ini tulus dari hati saya yang paling dalam. Sebab saya dapatkan dalam diri saya, semakin anda menunjukkan rasa benci terhadap Jokowi, dalam waktu yang bersamaan, disitulah terlihat kemurnian cinta saya terhadap Jokowi. Semakin anda tunjukkan kekurangan Jokowi, saya semakin bergairah untuk mencari kelebihan Jokowi, karena perlu keseimbangan, agar masyarakat mendapatkan informasi yang berimbang.”

Pertanyaannya, apakah yang dilabeli lovers itu benar-benar mencintai Jokowi, sementara haters bener-benar membencinya?Siapakah yang lebih menunjukkan cinta sejati:dia yang menunjukkan kelebihan kita, atau dia yang menjukkan kekurangan kita?

Orang Batak punya pepatah yang kalau diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia kira-kira begini bunyinya: “Lemah-lembut tutur kata setan, tajam-menusuk tutur kata manusia.”

Tapi kalau bicara soal “keseimbangan”, seperti dikatakan Thomson, maka Kompasianer yang disebutnya lovers dan haters Jokowi itu sangat mungkin sama-sama “mencintai” Jokowi selaku Presiden RI.Keduanya ingin Jokowi membawa Indonesia menjadi hebat.

Jadi, bukankah lebih baik jika kita tak lagi menggunakan dikotomi “lovers-haters” yang sangat subyektif itu?Kita semua “warga negara” Kompasianer, apapun idiologinya, saya kira sama-sama mengharapkan tercapainya Indonesia Hebat.

Ninoy N Karundeng:“…iri dengki dan sewot”

Kata Ninoy dalam artikelnya:“Sejatinya, kontroversi itu muncul akibat (1) Kompasianers yang diundang kelewat senang dengan reportasenya, (2) Kompasianers yang gagal diundang kelewat iri dengki dan sewot. Nah, akibatnya timbul kontroversi.”

Pertanyaannya, dari mana Ninoy tahu bahwa Kompasianer yang tak diundang perjamuan itu kelewat iridengki dan sewot?Kesimpulan ini saya kira muncul karena sebelumnya dia bilang Kompasianer yang diundang kelewat senang dengan reportasenya. (Sebagai subyek pelaku, dia pasti benar tentang soal ini).Karena itu dia menyimpulkan, Kompasianer yang tak diundang pasti iri dengki dan sewot.

Benarkah kesimpulan Ninoy?Saya kira, dia mengajukan argumen “manusia jerami” di situ.Dia menuduh Kompasianer yang tak diundang itu iri dengki dan sewot.Lalu ia menyerang si “manusia jerami” ciptaannya sepuasnya.Dan dia menang, menurut anggapannya, tentu saja.

Tidak ada yang tahu pasti apakah Kompasianer yang tak diundang Presiden Jokowi makan siang itu benar iri dengki dan sewot.Itu tafsir Ninoy sendiri, berdasar pengalaman subyektifnya, tentu saja.Dalam hal itu, saya kira, dia terjebak perangkap etnosentrisme.Menympulkan ukuran baju orang lain berdasar ukuran baju sendiri.

Saya tak bermaksud berpolemik dengan artikel ini.Hanya berharap agar kita sebagai Kompasianer sama-sama belajar memilih dan menggunakan kosa kata yang etis dalam wahana interaksi dunia maya “milik” bersama ini.Jangan karena merasa dekat dengan “Penguasa”, lalu sembarang menggunakan kata-kata.Memang ada licentia poetica, tapi saya kira kata-kata di atas tak termasuk di situ.

Kompasiana adalah ruang publik.Bisakah kita tidak mencemarinya dengan kata-kata yang tidak atau kurang pantas?Bahkan ketika kita sedang menanggapi pendapatan Kompasianer lain yang kita anggap “musuh”?Tolong jangan jadikan Kompasiana jadi wahana sumpah-serapah. Salam Kompasiana!(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun