Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa Plagiarisme di Digital Mudah Terbongkar?

13 Juli 2017   10:57 Diperbarui: 14 Juli 2017   07:47 2371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meniru perbuatan baik itu terpuji, tapi mencuri tulisan baik itu tercela (Illustrasi: media2.s-nbcnews.com)

Baru-baru ini jagad maya, juga mungkin fana, dihebohkan kasus plagiarisme "Warisan" yang dilakukan seorang rekan muda ANF.

Saya tidak ingin membahas lagi kasus ANF itu di sini, karena sudah jelas duduk perkaranya. Juga, sudah jenuh, sehingga ulasan yang terbit akhir-akhir ini sudah mengarah pada "penelanjangan kepribadian".

Hal yang hendak saya bicarakan, dan ini singkat saja, adalah soal gampangnya plagiarisme terungkap di media online. Pertanyaannya, mengapa?

Alasan utama, media online adalah dunia tanpa batas. Siapa saja dapat masuk ke dalamnya, dengan atau tanpa kata kunci, untuk kemudian berselancar di lautan informasi. Entah itu berita, artikel, majalah, buku, gambar, atau data.

Akses setiap orang ke media online, termasuh media sosial, memungkinkan keterpaparan informasi yang sangat tinggi dalam waktu yang singkat. Ini memungkinkan banyak orang untuk mengakses banyak informasi, katakanlah tulisan, di banyak situs dalam satu hari yang sama.

Sederhananya begini. Jika saya menerbitkan satu artikel plagiat di Kompasiana.com dan dibaca oleh 1,000 orang, maka setiap orang dari 1,000 orang itu mungkin telah membaca 100 judul artikel yang beragam sebelumnya. Maka akan ada 100,000 ribu artikel yang dibandingkan dengan satu artikel saya. Dengan demikian peluang untuk terbongkarnya plagiasi saya akan mendekati angka 1.0. Artnya, kemungkinan terbongkar sangat besar.

Kondisinya beda dibanding masa pra-online 30 tahun lalu. Jika saya menulis satu cerpen plagiat di Majalah Dinding sebuah sekolah di Tanah Batak sana, dan cerpen itu hanya dibaca oleh 50 siswa yang jarang baca cerpen, maka peluang terbongkarnya plagiasi saya akan mendekati 0.0. Artinya, kemungkinan terbongkar sangat kecil.

Beda kondisinya dengan sekarang. Jika seorang siswa menerbitkan sebuah cerpen plagiat di majalah atau bulletin sekolahnya, sangat mungkin plagiasinya akan terbongkar juga. Mengapa? Karena siswa lain yang menjadi pembacanya sudah terpapar banyak tulisan di media online. Jadi, bisa cepat mengidentifikasi kemiripan satu tulisan dengan tulisan lain.

Belum lagi kalau ada pembaca yang hiper-kreatif menggunakan aplikasi pelacak plagiarisme di komputernya. Jika benar sebuah tulisan plagiat, dia akan segera tahu berapa persen kadar plagiarismenya.

Jadi, di era media online ini sungguh riskan menjadi plagiator. Karena peluang terbongkar sangat besar. Sekali terbongkar, berarti karakter penulis langsung mati. Bukan karena dibunuh oleh pembaca, tapi oleh dirinya seniri, sebab tindakan plagiarisme itu  sendiri adalah "bunuh diri karakter" .

Jadilah diri sendiri! Itu satu-satunya jalan untuk menghindari kasus plagiarisme. Maka menulislah seturut kapasitas sendiri. Mungkin hasilnya buruk pada awalnya, tapi sebuah proses panjang akan menghasilkan kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun