Tahun 1960-an, aku punya teman sekelas, sebut saja namanya Jonder, yang bandelnya level 10 -- kalau diukur dari skala kepedasan kripik singkong. Karena itu kepalanya langganan sasaran getokan buku jemari guru.Â
Sampai suatu ketika dia tak tahan digetok melulu, kemarahannya meledak lalu mengancam guru, "Awas! Kalau kau sudah tua nanti, hajaplah kau kubikin!"
Kisah itu berakhir dengan kondisi Jonder babak-belur. Dihajar bapaknya sendiri karena kurang ajar pada gurunya.
***
Kalau aku merisak Bu Lina di sini, itu bukan terinspirasi kisah Jonder. Mana beranilah aku. Selain takut kualat pada nenek-nenek, khawatir pula aku dianiaya Acek Rudy ananda kesayangan Bu Lina.
Eh, tunggu dulu. Memangnya Acek Rudy itu anak  Bu Lina? Iya, begitu. Ananda Rudy, itu panggilan Bu Lina untuk Acek di Kompasiana.
Sejatinya, Bu Lina itu gregetan banget mengangkat aku juga sebagai anak di Kompasiana. Karena itu seribu satu alasan dicari hanya agar bisa menyapaku Ananda Felix.
Tapi aku bergeming. Ogah menjadi anak bagi orangtua yang anti-Keluarga Berencana (KB). Â Cobalah kamu bayangkan. Bu Lina itu punya ribuan ananda di Kompasiana. Nah, itu kan jelas-jelas melanggar program KB Indonesia.
Tapi kalau dipikir-pikir, Bu Lina itu memang cerdas. Dan di samping istri yang cerdas, terdapat suami yang cerdas juga, sih. Maksudku begini. Bu Lina itu cerdas mengangkat ribuan anak di Kompasiana. Tapi zonder keluar biaya hamil, melahirkan, dan membesarkan. Gratis!
***