Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Korupsi, Tindakan Ilegal-Rasional, dan Urgensi Perampasan Aset Koruptor

29 Maret 2023   15:47 Diperbarui: 30 Maret 2023   12:16 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua KPK Firli Bahuri dengan latar-belakang tersangka tipikor (Foto: KOMPAS.com/Syakirun Ni'am)

Penjelasan untuk gejala "kenyamanan koruptor" itu terletak pada dasar hukum penanganan tindak pidana korupsi -- yaitu UU Nomor 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan UU Nomor 1/2022 tentang KUHP -- yang bertumpu pada pendekatan "lacak tersangka" (follow rhe suspect).

Fokus pendekatan "lacak tersangka" adalah pembuktian tindak pidana korupsi oleh tersangka sebagai dasar vonis pidana badan atau pemenjaraan. Pendekatan ini berfokus pada tersangka saja, sementara jaringan dan aktor intelektual korupsinya tak tersentuh. Akibatnya, selain banyak pelaku korupsi yang tak tersentuh, hasil korupsi yang bisa dibongkar juga kecil. 

Untuk mendukung efektivitas penanggulangan korupsi, sekaligus menimbulkan efek jera lewat mekanisme perampasan aset (pemiskinan), maka diusulkan melengkapi pendekatan "lacak tersangka" dengan pendekatan "lacak uang" (follow the money).

Fokus pendekatan "lacak uang" adalah aliran transaksi uang. Pendekatan ini mengandalkan analisis keuangan, antara lain akuntansi forensik, untuk melacak aliran uang hasil tindakan illegal (koruptif) antar aktor korupsi dalam suatu jaringan. 

Karena itu, selain mampu menemukan uang hasil korupsi, untuk kemudian dirampas untuk negara, pendekatan ini juga mampu menjaring lebih banyak pelaku korupsi.

Gagasan untuk menerapkan pendekatan "lacak uang" di Indonesia sebenarnya sudah diinisiasi tahun 2012. Ditandai dengan masuknya RUU Perampasan Aset sebagai legislasi prioritas di DPR. Tapi sampai hari ini RUU itu tak kunjung disahkan.

Ada segudang alasan yang dikemukakan atas penundaan UU tersebut. Mulai dari beda persepsi antar lembaga (kejaksaan, kepolisian, kehakiman, KPK), keterbatasan sumber daya manusia, sampai ketaksiapan institusi. Semua itu alasan yang remeh-temeh yang bisa diatasi dengan mudah dan cepat, sepanjang ada komitmen politik yang kuat.

Resistensi pemerintah, baik eksekutif maupun judikatif dan legislatif, terhadap UU Perempasan Aset diduga berpangkal pada kekhawatiran UU itu akan menjadi bumerang bagi aparat pemerintah sendiri. Sebab bukankah mayoritas koruptor ada di lingkungan pemerintahan?

Jika benar ada resistensi semacam itu, maka tiga hal bisa disimpulkan.

Pertama, tindakan korupsi itu telah dilanggengkan oleh pemerintah sendiri.

Kedua, dengan melanggengkan korupsi maka pemerintah telah membiarkan -- dan karena itu terlibat dalam -- terjadinya kejahatan ekonomi, politik, dan kemanusiaan dalam birokrasi pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun