Satu hal yang menarik, pengungkapan gaya hidup mewah, atau pamer kemewahan, bukan hasil identifikasi pemerintah. Katakan misalnya Kemenkeu, Kementerian ATR/BPN, Kemendagri, atau Kemensetneg. Â Tapi diungkap oleh netizen lewat medsos dan kemudian diviralkan aneka media daring. Â
Netizen memanfaatkan momentum. Larangan ASN dan anggota keluarganya pamer kemewahan itu benar-benar dimanfaatkan. Netizen yang gerah, mungkin juga marah, ingin agar mereka yang doyan pamer di medsos itu berhadapan dengan KPK.
Itulah yang terjadi. KPK benar-benar memanggil para pejabat yang doyan pamer kekayaaan itu klarifikasi jumlah dan sumber harta-bendanya.
"Efek Mario": Â Meluas atau Memudar?
Untuk meringkaskan, "Efek Mario" mencakup tiga level berikut.
Pertama, level keluarga, ayah Mario yaitu Rafael Alun telah dipecat jadi ASN Kemenkeu dan harus menghadapi pemeriksaan KPK.
Kedua, level institusi, sejumlah ASN yang terungkap pamer kemewahan telah dinon-aktifkan instansinya, dan telah dipanggil oleh KPK.
Ketiga, level masyarakat, merespon larangan ASN pamer kemewahan, netizen menjadi aktif mengungkap fakta pamer hidup mewah dari sejumlah ASN dan anggota keluarganya.
Menjadi pertanyaan, apakah "Efek Mario" akan merembet lebih luas menjangkau lebih banyak pejabat/ASN yang terdeteksi suka pamer kemewahan? Atau sebaliknya, "Efek Mario" dengan cepat akan memudar seiring peralihan fokus ke persidangan kasus penganiayaan itu nanti?
Hampir bisa dipastikan "Efek Mario" itu akan memudar dengan cepat. Sudah ada preseden kasus korupsi Gayus di Ditjen Pajak. Kasus itu hanya ramai semusim, dan membuat ASN Ditjen Pajak tiarap dua musim. Â Setelah itu segala sesuatunya kembali kepada keadadaan semula. (Sampai kemudian kasus Rafael terungkap.)
Ada dua penjelasan tentang pemudaran "Efek Mario" itu.
Pertama, pemerintah tidak tampak bersunguh-sungguh mengungkap gaya hidup mewah dan tak wajar dari para ASN di berbagai instansi pemerintah.