Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Jangan Berhenti Mencintai Timnas Indonesia

20 Mei 2022   06:46 Diperbarui: 20 Mei 2022   07:14 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marc Klok dijatuhkan pemain Thailand di semifinal SEA Games 2021. (REUTERS/CHALINEE THIRASUPA via cnnindonesia.com)

Sepakbola adalah tentang cinta. Cinta pemain pada profesinya. Cinta pelatih dan manajer pada timnya. Dan cinta pendukung kepada tim kesayangannya.

Bicara cinta pendukung,  itu adalah cinta tanpa syarat. Menang atau kalah, tetap cinta. Seperti pendukung Real Betis Spanyol, setia mendukung dan mencintai, walau mereka tahu timnya bermain untuk kalah.

Sepakbola memang bukan semata soal kalah dan menang. Walau di era kapitalistik ini, sepakbola telah direduksi  pada keharusan menang. Kalau perlu, lewat perpanjangan waktu,  adu penalti atau bahkan suit. Termasuk lewat "kecurangan kuasi-etis".

Sepakbola itu sejatinya  soal permainan cinta. Lapangan hijau adalah panggung cinta, dan permainan adalah pemanggungan cinta.

Saya bangga menyaksikan Timnas Indonesia menghadapi Timnas Thailand di semi final SEA Games 2021 kemarin sore. Indonesia memang kalah 0-1 dalam tempo 2x45" plus 2x15". Tapi kita tahu, gol ke gawang  Indonesia terjadi karena bola melintas di luar jangkauan tangan kiper. 

Hal itu bisa terjadi pada kiper manapun di dunia ini. Bahkan pada Thomas Nkono, kiper legendaris Kamerun, saat timnya kalah 2-3 dari Inggris di semifinal Piala Dunia 1990. Waktu itu wasit menjadi pemain keduabelas untuk Inggris.

Kebobolan gol semacam itu bisa terjadi karena kesalahan dalam artikulasi cinta di lapangan bola. Salah oper, salah posisi, salah tekel, salah sepak, salah sundul, dan lain sebagainya. Yah, tak ada cinta yang sempurna, bukan? Selalu ada salah di dalamnya.

Tentang cinta itu, Timnas Thailand memang lebih beruntung dibanding Timnas Indonesia. Thailand punya Madame Pang, manajer tim, yang berperan sebagai ibu. Dia memberi kelembutan kepada timnya, sementara pelatih Polking memberi kekuatan.  Mereka ibarat ibu dan bapak untuk timnya.

Lihat bagaimana Madame Pang memeluk Polking yang marah lantaran kena kartu kuning dari wasit. Pelukan lembutnya seketika melunakkan hati Polking. Kamu iri, kan? That is a real soft power, kawan.

Di Timnas Indonesia tak ada peran ibu semacam itu. Karena itu saya berharap, mudah-mudahan PSSI sudi mempertimbangkan Maudy Ayunda sebagai manajer timnas kita. Biar kamu tambah cinta Timnas Indonesia.

Kelembutan perempuan penting untuk menjadikan kekuatan laki-laki jadi rasional dan beradab. Tidak berkembang menjadi kekasaran atau bahkan kebarbaran, semisal menjadi jeributan atau tawuran di lapangan.

Kamu pernah baca kisah Miyamoto Musashi, samurai antikalah si Jepang? Konon pada dinding kamarnya digantungkan pakaian kimono perempuan. Tujuannya untuk memberi sentuhan kelembutan pada aura keras Musashi.

Nah, lihatlah bagaimana sisi lembut menjadi kekuatan pada Timnas Thailand. Sebentar-sebentar pemainnya diving, terguling dan geletak sambil meraung kesakitan. Macam anak perempuan yang dicubit sikit oleh anak laki. "Maaak, sakiiit!"

Itu merusak konsentrasi dan emosi pemain Timnas Indonesia. Karena berbuah teguran sampai kartu merah dari wasit.  Selain juga melambatkan tempo permainan.

Sudah terbukti betapa bahayanya kelembutan Timnas Thailand. Dua kartu merah untuk pemain Indonesia akibat kerecokan emosional di ujung pertandingan. 

Saya pikir, Timnas Indonesia  perlu lebih banyak cinta dari para pendukung. Bahwa timnas kita selalu mengecewakan, ya, wajar-wajar saja. Di dalam cinta selalu ada kecewa, perih, sedih, dan amarah, bukan? Jomlo gak paham soal ini.

Tapi juga selalu ada harapan yang kunjung teraih di dalam cinta itu. Semacam juara regional atau mungkin dunia.

Harapan itulah alasan untuk kita tetap setia mencintai Timnas Indonesia.  Sambil menerima kenyataan betapa absurdnya cinta kita:

Kejam
Oh, kejam
Pedih
Oh, pedih
Cinta
O-o-o-oh
Cinta

Bukankah penggalan lagu "Cinta" Titik Puspa itu sedemikian pasnya menggambarkan suasana hati kita saat ini.

Damn, Timnas Indonesia,  I love you full! (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun