Saya percaya pada hukum itu. Â Karena itu percaya juga pada kesimpulan Admin K meningkatkan perolehan keuntungan dengan cara menekan biaya sampai serendah mungkin. Â Termasuk di situ menekan "upah buruh", dalam hal ini K-Rewards, sampai serendah mungkin. Â Prosesnya kurang-lebih serupa penentuan upah minimum buruh.
Bagi saya, struktur Kompasiana kini telah menjadi sebuah struktur yang represif terhadap Kompasianer.  Indikasi paling kuat untuk itu adalah program topik pilihan yang di-bundling dengan K-Rewards.  Itu adalah instrumen represi untuk "memaksa" Kompasianer menulis artikel sesuai dengan pilihan-pilihan bisnis konten Admin K.
Menurut saya, kebijakan Admin K itu telah membunuh secara halus demokrasi di Kompasiana. Â Tulisan tidak lagi dinilai setara, tapi berbeda nilai menurut kesesuaian dengan kepentingan Admin K. Â Sekaligus itu juga berarti diskriminatif. Â Hanya artikel-artikel yang sesuai dengan kepentingan bisnis konten Admin K saja yang diapresiasi dan diberi insentif.
Dalam diskusi di kolom komentar artikel, juga di grup perpesanan, saya menemukan sejumlah Kompasianer, untuk tak mengatakan sebagain besar, yang tak berkeberatan dengan sistem kapitalistik Kompasiana. Mereka bilang tak merasa didiskriminasi, juga tak merasa terepresi. Â Topik pilihan bagi mereka justru dilihat sebagai tantangan kreativitas.
Saya pikir perbedaan di antara Kompasianer harus dihargai. Â Bahwa saya tidak setuju dengan pandangan mereka, itu persoalan idiologis pribadi. Â Bagi saya, pemikiran seperti itu adalah cermin "kesadaran yang tidur". Â Dan kapitalisme memang sangat cerdik menina-bobokan orang dengan ragam insentif yang sebenarnya adalah hak kita.
Dengan segala perbedaan pandangan itu, baik dengan Admin K maupun dengan mayoritas Kompasianer,wajarlah jika kini saya menemukan diri berada di "luar sistem Kompasiana". Â Karena itu, kini saya tiba pada sebuah kesadaran baru, bahwa semua kritik saya kepada Admin K dan Kompasianer adalah kesia-siaan. Â
Penguasa yang duduk nyaman di dalam gedung berpendingin tidak akan pernah mendengar seseorang yang berteriak-teriak di tengah padang. Â Dan bagi mayoritas warga yang mendukung penguasa, orang yang berteriak-teriak itu tak lebih dari seorang kenthir yang salah makan obat.
Namun demikian, kepada Admin K dan rekan-rekan Kompasianer, saya harus berterimakasih karena telah membiarkan artikel-artikel kritik saya berkeliaran di Kompasiana. Â Saya juga minta maaf bila dalam artikel-artikel itu ada, dan pasti ada sih, kata atau frasa atau kalimat yang menyinggung harga diri. Â
Kompasianival 2021 ini adalah tonggak terakhir bagi saya. Â Setelah itu, saya tak akan menulis lagi artikel kritik, baik terhadap Kompasiana, Admin K, maupun Kompasianer. Â Saya juga akan membatasi diri menulis hal-hal biasa saja, sesuai hakekat hidup saya sebagai petani. Â Hal-hal biasa yang berada di luar garis kepentingan bisnis Admin K. Â
Bagaimanapun, jiwa penulis itu semacam rajawali yang terbang bebas di angkasa. (eFTe)