Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Eksploitasi dan Kreasi [atau Kapitalisasi Anak]

21 November 2021   06:19 Diperbarui: 21 November 2021   17:39 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak bermain (Foto: shutterstock via kompas.com)

#1

2012, suatu siang, terik, di perempatan Pancoran Jakarta, di bawah "Pemuda Angkasa" siap lepas landas, di saat lampu merah menyala.

Ada lima anak bawah lima tahun, seperti lima sila Pancasila. Bernyanyi, sembari tepuk tangan, di samping pintu-pintu mobil mewah. Bukan, mereka bukan anak-anak sukaria. Wajah mereka muram, menyanyikan lagu "Sorak-Sorak Bergembira". Bukan, mereka bukan penghibur, tetapi anak-anak yang dijadikan pengemis jalanan.

Ada pula seorang ibu lusuh berwajah kuyu memelas menggendong anak bayi kurus hitam terpejam dipanggang terik matahari siang. Bukan, ibu itu bukanlah seorang ibu, dan anak bayi itu bukanlah seorang anak. 

Mereka berdua adalah alat produksi yang dipajang di samping pintu-pintu mobil mewah. Menjual ekpresi kemiskinan dan malnutrisi demi sekeping duit limaratusan atau seribuan.

2012, suatu siang, terik, di perempatan Pancoran Jakarta. Lima anak bawah lima tahun, seorang ibu, dan seorang anak bayi, dijaring dan diangkut serombongan polisi pamongpraja. Alasan yang kemudian terbaca di koran kota: Mereka Korban dan Pelaku Eksploiasi Anak.

#2

2021, suatu pagi, siang, sore, atau malam, di kanal-kanal YouTube dan TikTok, ditonton jutaan pasang mata netizen di antero pojok dunia, di waktu yang tak pernah berhenti.

Ada ribuan atau mungkin jutaan anak bawah tiga tahun dan bawah lima tahun tertawa, menangis, berceloteh, bermain, berangkat sekolah, makan, minum, menetek, sakit, tidur, atau sedang apa saja, di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Bukan, mereka bukan anak-anak bebas lepas merdeka. 

Mereka diperangkap dengan sorot kamera digital, untuk diperdagangkan ke pasar dunia maya. 

Di pasar maya itu, hadir jutaan penonton yang membayar tiket dengan pulsa, lalu jutaan tiket mengundang banjir adsens dan endorsment, yang mengalirkan jutaan bahkan miliaran duit ke pundi-pundi orangtua.

2021, suatu malam, di kanal-kanal televisi dan di situs-situs pemberitaan, dikabarkan pemerintah memberi penghargaan kepada para orangtua dari anak-anak obyek YouTube dan TikTok. Alasan yang resmi disiarkan seorang menteri negara: Mereka Pahlawan Ekonomi Kreatif. (eFTe)

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun