Tempus fugit. Â Waktu berlari. Â Harihari berlalu dengan cepat. Â Dari minggu ke minggu, bulan ke bulan. Â Desember telah tiba lagi. Menggenapi suka dan duka menjadi setahun. Â
Hari Minggu di Panatapan. Siang.  Langit biru cerah. Itu hadiah di bulan basah. Suasana terasa damai.  Warga  diam nyaman di dalam rumah. Selepas makan siang, sepulang dari gereja. Â
Poltak sedang asyik membaca majalah Si Kuncung, dan Kawanku, kiriman kakeknya dari Kisaran, di ruang depan saat neneknya berteriak dari dapur. "Poltak! Coba lihat, siapa yang datang!"
"Tidak ada, ompung," Â jawab Poltak, tanpa melihat ke luar rumah barang sekejap. Dia tetap asyik membaca. Â
"Pakai matamu! Â Dengar itu burung celepuk dari tadi bunyi di belakang rumah! Â Lihat ke luarlah!"
Sungguh berat  pantat kecil Poltak diajak bangkit dari kursi rotan. Cerita-cerita dalam majalah terlalu sayang untuk ditinggal, sekalipun sejenak. .Melangkah seperti bulus, Poltak keluar ke teras depan rumah.
"Bah! Nantulang! Berta!" Poltak berteriak kaget.
"Eh, Poltak, bere naburju." Nantulangnya balas menyapa Poltak, bere naburju, ponakan yang baik hati.Â
Poltak takjub. Bagaimana mungkin neneknya tahu Nantulangnya dan Berta, paribannya, akan datang bertamu siang itu. Hanya dengan mendengar bunyi burung celepuk.Â
Tapi, Poltak teringat, Â itu bukan yang pertama. Sudah sering terjadi. Â Dan neneknya tak pernah meleset. Â "Barangkali, ompung memang mengerti bahasa burung celepuk," simpulnya .