Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tragedi Logika Natalius Pigai

7 Oktober 2021   06:59 Diperbarui: 6 Januari 2024   20:26 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jgn percaya org Jawa Tengah Jokowi & Ganjar. Mrk merampok kekayaan kita, mereka bunuh rakyat papua, injak2 harga diri bangsa Papua dgn kata2 rendahan Rasis, monyet & sampah. Kami bukan rendahan. kita lawan ketidakadilan sampai titik darah penghabisan. Sy Penentang Ketidakadilan)." - @NataliusPigai2 (detik.com, 2/10/2021, dikutip apa adanya).

Saat membaca cuitan Natalius Pigai itu, saya teringat istilah sindrom  look-at-me generation.  Ini sindrom yang menjangkiti generasi milenial kelahiran 1990-2000. 

Urban Dictionary menguraikannya sebagai kaum penggila youtube, tv realita, pemutakhir fanatik status, pencuit twitter, pakaian mencolok, dan apa saja yang bisa menarik perhatian orang padanya.  Intensinya satu:  agar dilihat orang dan, syukur-syukur, diakui keberadaannya. 

Kalau dia seorang medsoser, penggila medsos, maka dia akan membagikan konten kontroversial. Tak soal konten itu  hoaks, fitnah, penistaan, atau kedunguan, libas saja. Yang penting bisa viral, lalu terkenal. Semboyannya "biar cemar asal tenar", atau "biar kotor asal sohor".  

Pigai itu kelahiran 1975, sekarang 46 tahun, jelas dia bukan milenial.  Tapi, cuitan di atas adalah indikasi dia  terjangkit sindrom look-at-me generation juga. Cuitannya kontroversial, lalu viral, lantas dia dibicarakan orang se-Indonesia, setidaknya di media massa dan medsos. Sebagian dengan kata-kata kecaman yang mencerminkan etika rendahan.  

Bagi para pengecam Pigai, cuitannya kontroversial karena dinilai rasis dan punya motif membenturkan etnik Papua dan etnik Jawa. Momentumnya seksi, pas perhelatan PON XX di Papua.  Bayangkan rusaknya Indonesia jika etnis Jawa dan Papua sama-sama terbakar, lalu terjadi kerusuhan etnis di Papua dan Jawa. 

Luar biasa memang isi otak mantan komisioner Komnas HAM itu. Pintar memainkan isu ras dan etnis secara terselubung.

Tapi saya tak tertarik mengulik motif-motif merusuh dalam kepala Pigai.  Tak mudah menguaknya. Kalaupun itu ada, biarkanlah dia piara itu untuk kepentingan dirinya sendiri.  

Saya hanya mau memeriksa logika Pigai dalam cuitannya itu.  Untuk bisa sampai pada simpulan apakah ujaran Pigai itu logis atau sesat.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun