Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Kekerasan" dalam Pelajaran "Perspektif" di Sekolah

5 Oktober 2021   06:26 Diperbarui: 5 Oktober 2021   07:56 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perbandingan prinsip perspektif antara lukisan dan foto (Foto: Koleksi Lintang)

Di kiri-kanan jalan itu kemudian digambar pepohonan dan atau tiang listrik/teleks. Paling bawah ukurannya paling besar. Semakin dekat gunung, ukurannya semakin kecil.

Setelah itu, di kiri-kanan jalan, digambarlah hamparan petak-petak sawah.  Bisa dilengkapi dengan gambar burung-burung blekok terbang, berupa angka 3 tengkurap.

Maka jadilah gambar perspektif pemandangan alam, seperti gambar ilustrasi artikel ini. 

Tinggal diwarnai. Gunung biru dongker. Langit biru muda. Awan putih. Jalan hitam. Pohon hijau tua dengan batang coklat.  Tiang listrik/teleks dan kabelnya hitam. Sawah hijau muda atau kuning. 

Begitulah prinsip perspektif diajarkan guru di SD. Objek jauh kecil, objek dekat besar. Dalam fisika bunyi, kelak itu diajarkan sebagai azas Dopler: semakin dekat volume bunyi besar, semakin jauh kecil.

Prinsip perspektif itu memang berguna banget. Boleh tertawa, tadinya saya pikir pesawat terbang itu memang sekecil yang terlihat mata di langit. Saya bayangkan penumpangnya cuma seorang dalam posisi berbaring. Prinsip perspektif telah mengoreksi kesalahan saya.

Tapi sebaik-baiknya prinsip perspektif, pengajarannya ternyata bermakna kekerasan terhadap kreativitas anak. Di SD saya dulu, semua gambar pemandangan alam, mulai dari kelas 2 sampai 6,  serupa struktur objek dan komposisi warnanya. Seragam, persis seperti pemerian di atas.

Begitulah, pengajaran prinsip perspektif di kelas 2 SD itu telah membunuh kreativitas anak. Bayangkan betapa besar dosa guru kelas 2 itu. Tapi besar pula dosa guru kelas 3-6 yang tak pernah mengoreksinya.  Malah mengukuhkan dengan ujaran, "Yak, bagus."

Murid selalu beranggapan apa yang bagus menurut guru berarti benar. Maka tidak ada kemungkinan lain di luar gambar perspektif. Kecuali tahan dicela guru, atau dapat ponten 5. Ponten merah itu, saudara-saudara. Ponten untuk murid mbalelo.

***

Saya takjub, kenapa urusan prinsip perspektif bisa jadi berkepanjangan begini, ya. Lebih dari seribu seratus kata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun