Dalam kasus itu, di mana letak kekerasan prinsip perspektif terhadap budayaÂ
Begini. Orang Jawa pedesaan tempo dulu, juga Bali, karena tak makan sekolah formal, tak mengenal prinsip perspektif. Â
Coba perhatikan relief di candi-candi, atau lukisan Bali asli. Â Tidak ada prinsip perspektif di situ, bukan? Ukuran semua objek, misalnya manusia, sama saja. Tak ada konsep dekat (besar) dan jauh (kecil).
Begitu juga pada pertunjukan wayang kulit. Tak berlaku perspektif. Tokoh wayang selalu bergerak maju-mundur dari samping kiri dalang (Kurawa) dan samping kanan (Pandawa). Â Atau dari bawah ke atas, atau sebaliknya, untuk tokoh yang bisa terbang (Gatotkaca, Batara Narada). Tidak ada tokoh wayang yang bergerak dari depan ke belakang, atau sebaliknya.
Apa makna relief, lukisan, dan wayang yang tak menerapkan prinsip perspektif itu.  Itu pemanggungan nilai-nilai kedekatan, kesetaraan, dan konformitas dalam masyarakat Jawa/Bali. Semacam perayaan  kebersamaan dalam komunitas.
Itulah yang dihajar oleh prinsip perspektif dalam poster transmigrasi tadi. Pelukisnya tak hirau pada prinsip non-perspektif dalam budaya Jawa desa.Â
Akibatnya timbullah resistensi, penolakan terhadap transmugrasi. Prinsip orang Jawa, mangan ora mangan waton ngumpul, dimainkan di situ.
***
Prinsip perspektif itu diajarkan secara formal pada murid-murid sekolah aras SD. Mediumnya pelajaran "menggambar perspektif". Â Lazim diajarkan di kelas dua.Â
Guru lazim memberi contoh di papan tulis. Di mulai dengan menggambar dua gunung berimpit di bidang tengah-atas. Lalu matahari ngintip di antara dua gunung itu. Plus gerumbul-gerumbul awan di atasnya.
Dari antara dua gunung itu, dua garis ditarik secara frontal ke bidang-bawah. Jarak dua garis itu nol (berimpit) di celah gunung, lalu semakin lebar ke depan (bawah). Itulah gambar jalan.