"Poltak, kau bantu Pak Guru untuk melatih tim tarik tambang, ya." Â Guru Paruhum meminta Poltak jadi asisten pelatih. Â Bukan karena Poltak jago tarik tambang. Â Tapi karena Guru Paruhum memerlukan ide-ide anehnya.
Dua jam pelajaran terakhir setiap Senin, Rabu, dan Jumat menjadi jam latihan untuk tim tarik tambang. Â Poltak, sebagai asisten, ikut terbebas dari pelajaran pada jam-jam itu.
"Kita coba tim menarik balok dulu, Gurunami," saran Poltak kepada Guru Paruhum. Kebetulan di pinggir lapangan sekolah ada tumpukan balok kayu milik Ama Lumongga, kakek Poltak nomor lima. Â Rumah kakeknya itu ada di tepi jalan raya di depan sekolah.
Setelah Poltak minta ijin kepada kakeknya, satu balok kayu basah ukuran 40 x 40 x 400 cm diikat dengan tali rami sepanjang sepuluh meter. Â Enam anggota tim siap melawan sebatang balok kayu besar.
"Satu, dua, tiga! Tarik!" Â Guru Paruhum meneriakkan aba-aba.
Bistok, Polmer, Jonder, Patar, Sahat, dan Dolok mengerahkan segenap tenaga menarik balok. Tapi balok bergeming. Â
"Tarik!" Guru Paruhum menyemangati.
Bistok dan Dolok kentut. Muka Jonder, Patar, Â dan Sahat merah seakan meledak. Â Mata Polmer seakan keluar dari liangnya. Â Tapi balok kayu tetap bergeming.
"Gurunami," saran Poltak, "kita ganti posisi anggota tim. Â Bistok di depan. Polmer di belakang."
Menurut pikiran Poltak, Bistok Si Kaki Tampak itu cocok di depan. Â Telapak kakinya yang lebar bisa menjadi kunci kekuatan. Jejakannya mantap seperti pilar.
Polmer, Samson Hutabolon, cocok di belakang sebagai jangkar. Â Kekuatannya bisa mengimbas kekuatan empat orang di depannya.