Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

KPI Itu Bukan Komisi Pelecehan Indonesia, Bukan?

3 September 2021   17:03 Diperbarui: 3 September 2021   19:54 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kantor KPI (Foto: infonitas.com via hukumonline.com)

Sebagai warga Indonesia, saya merasa sangat terhina oleh kasus pelecehan verbal dan fisik beramai-ramai terhadap MS, pegawai Komisi Penyiaran Indonesia.  Sangat terhina karena saya selama ini menyerahkan urusan sterilisasi tontonan di televisi dari konten pelecehan pada integritas para pegawai KPI.  Ternyata, di balik siaran televisi, mereka adalah pelaku pelecehan, bahkan pelecehan seksual, itu sendiri. Bagaimana saya tak merasa terhina?

Mengapa saya sebut "mereka", bukan "sekelompok pegawai"?  Delapan orang peleceh yang namanya disebut MS dalam surat terbuka (viral di medsos dan WAG pada 1 September 2021) menurut hemat saya tak bisa direduksi menjadi "sejumlah oknum".  Menurut saya mereka berdelapan adalah representasi institusi KPI.

Ada tiga alasan untuk berpandangan seperti itu. Pertama, tindak pelecehan itu bukan lagi kategori "peristiwa", melainkan "gejala" karena dilakukan berulang kali dalam rentang waktu tahunan. Sesuatu tindakan sosial yang menggejala -- terjadi berkelanjutan atau berkepanjangan --berarti memiliki watak institusional, melembaga.

Kedua, tindakan itu terjadi di ruang publik, mengingat kantor KPI adalah gedung umum, tempat pelayanan publik dan dapatdikunjungi oleh siapa saja.  Fakta pelecehan itu terjadi tanpa ada kontrol sosial (teguran, larangan) dari pegawai KPI lainnya mengindikasikan "pelecehan adalah tindakan yang bisa diterima" di sana.  Pegawai lain, yang bukan pelaku langsung pelecehan, dengan begitu adalah pelaku pasif.

Ketiga, fakta bahwa MS hanya dipindahkan keunit kerja lain, ketika dia mengadukan kasus itu kepada atasannya, dan takada sanksi apapun kepada para peleceh, menjadi indikasi bahwa atasan secara pasif merestui atau sekurangnya membiarkanpelecehan terjadi di lingkungan kerjanya.  Atasanitu juga pelaku pasif.

Berdasar tiga alasan itu, wajar jika timbuk pertanyaan apakah KPI masih Komisi Penyiaran Indonesia?  Atau, jangan-jangan, secara informal telah berubah menjadi "Komisi Pelecehan Indonesia"?

Jika benar terjadi tindak pelecehan menahun kepada MS oleh "teman-teman sekantor", dalam arti pengakuannya bukan kisah yang dilebih-lebihkan atau halusinasi, maka wajar mempertanyakan kualitas moral pegawai KPI. Kasus pelecehan MS itu, khususnya penelanjangan dan pencoretan organ seksual, mengingatkan saya pada kasus pelecehan seksual pada seorang siswi SMA di Jakarta beberapa tahun lalu.  Apakah kualitas moral pegawai KPI itu setara kualitas moral anak-anak SMA yang masih labil? 

Pertanyaan terakhir itu memicu pertanyaan lanjutan.  Dengan cara bagaimana orang-orang dengan moralitas serendah itu bisa lolos menjadi pegawai KPI?  Perlu dipertanyakan sensitivitas sistem dan proses  rekrutmen pegawai KPI.

Sebenarnya, secara sosiologis, suatu kantor atau organisasi adalah sebuah sistem kekuasaan formal.  Ada atasan yang memiliki wewenang legal formal untuk "menguasai", dalam arti memimpin dan mengarahkan, pegawai bawahannya.  Dalam konteks relasi kuasa seperti itu, seorang atasan hanya boleh menyuruh bawahan sesuai dengan alur tugas pokok dan fungsi yang berlaku resmi. Di luar itu, tergolong penyalah-gunaan wewenang, atau bahkan termasuk kategori pelecehan.  Semisal menyuruh seorang staf administrasi membuatkan segelas kopi.

Tapi di luar struktur kekuasaan yang legal formal itu, ada pula struktur kuasa ilegal-informal, alias "premanisme".  Ini sepenuhnya adalah pelecehan, karena tak ada dasar hukumnya.  Istilah eufemistik untuk premanisme di kantor ini adalah "senioritas", "perploncoan".  "masa orientasi" atau apa sajalah yang kedengarannya "bagus".

Penguasa legal formal di dalam satu kantor bukannya tak tahu ada penguasa ilegal-informal di bawahnya.  Tapi gejala semacam itu cenderung didiamkan saja, sepanjang menurut penilaiannya tak mengancam posisinya atau merusak kinerja kantor secara keseluruhan.  Apalagi jika penguasa ilegal-informal itu adalah kaki-tangan atasan.  Ya, atasan akan tutup mata saja.

Secara sosiologis, itulah yang terjadi pada MS di KPI.  Ada persekutuan janggal antara penguasa legal-formal dan penguasa ilegal-informal di KPI.  Sehingga tindakan pelecehan  oleh pegawai "penguasa ilegal-informal" terhadap seorang pegawai legal-formal terbiarkan selama bertahun-tahun.  Sulit untuk tak mengatakan tindakan pelecehan itu sudah relatif melembaga di sana.

Saya khawatir, kasus MS di KPI itu sebenarnya hanya semacam pucuk "gunung es pelecehan" di kantor-kantor pemerintah.  Sebab sudah menjadi rahasia umum juga adanya kasus-kasus pelecehan seksual terhadap pegawai perempuan oleh pegawai lelaki atau bahkan oleh atasannya yang kebetulan lelaki.  Ingat kasus Baiq Nuril dari Lombok, NTB. 

Barangkali sudah saatnya Kementerian PAN lebih serius untuk merumuskan kebijakan, program, dan instrumen yang tegas untuk mereduksi tindak pelecehan di kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga negara. Saya bermimpi tentang kantor pemerintahan yang bersih dari segala bentuk  pelecehan kemanusian.

Saya menunjuk Kementerian PAN, bukan Komnas HAM.  Sebab Komnas HAM rupanya hanya sudi menangani satu persoalan hak asasi manusia rakyat kecil apabila sudah viral secara nasional bahkan global.

Ah, tapi ada hikmahnya juga:  Viral adalah senjata Si Lemah! (eFTe)

*Untuk menghindari  artikel vulgar, saya tak membabar pengakuan MS  tentang rincian pelecehan seksual yang telah dialaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun