Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Saya Bangga Menulis Artikel Picisan di Kompasiana [Sebuah Postscriptum]

17 Agustus 2021   06:59 Diperbarui: 17 Agustus 2021   17:05 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua artikel dari dua orang penulis cerdas di Kompasiana (Tangkapan layar Kompasiana)

Masuklah ke dalam satu tulisan dengan kepala kosong tapi pikiran terbuka. Maka kecaplah betapa sedapnya tulisan itu. -Felix Tani 

Konflik pemikiran itu indah. Dengan perantaraannya kita menjadi lebih cerdas. Asalkan dalam proses konflik itu kita bebas dari argumen sesat (logical fallacy).

Saya melihat konflik pemikiran antar Kompasianer dengan anggapan di atas. Termasuk perdebatan hangat soal mutu artikel di Kompasiana akhir-akhir ini. Itu sesuatu yang indah.

Karena itu, jika ada yang menyerang pemikiranku, maka saya sambut dengan senang hati. Sikap itu berlaku pula untuk artikel rekan Adrian Chandra Faradhipta, misalnya. [1] Artikel itu, walau tak eksplisit, merespon antara lain artikel saya sebelumnya.[2]  

"Sampah" dan "dangkal". Dua kata itu yang bikin emosi mendidih. Terbaca sejak artikel Steven Chaniago [3] sampai artikel Adrian. 

Agaknya ada Kompasianer yang merasa dirinya diserang. Hal itu benar untuk Steven yang dikatai  "penulis sampah." Tapi tidak untuk rekan Adrian.

Mungkin Adrian "tersinggung" karena ilustrasi artikel saya meng-endorse artikelnya yang kebetulan HL  di Kompasiana. Kebetulan saya bicara tentang artikel politrik (aneka trik, tip, cara, tutorial) yang cenderung reproduktif dan repetitif, bahkan ada yang dangkal. Pertanyaan: mengapa Adrian tak berpikir sebaliknya tentang artikelnya?

Apakah saya telah merendahkan artikel politik, manganime , dan politrik di Kompasiana? Juga merendahkan penulisnya? Tolong tulisanku dibaca-ulang baik-baik. Tunjukkan satu saja kalimat yang merendahkan.

Seingatku, semua artikel humor kritik yang kutulis tak mengandung argumentum ad hominem. Saya sangat ketat dengan satu  hal itu. Kalau ada, tolong tunjukkan, untuk koreksi diri. Tapi kalau tidak ada, mengapa ada rekan yang merasa direndahkan atau dihina?

Saya tak hendak bicara panjang-lebar di sini. Kuatir rekan-rekan Kompasianer jadi mual dan muak. Saya hanya ingin menegaskan posisi saat sedang menulis kritik terhadap  artikel-artikel di Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun