Berta terlihat ragu. Dia tak mengangsurkan jarinya kepadaGuru Paruhum.
"Ei, Berta, sini jarimu!" desak Guru Paruhum.
"Ah, santabi, Gurunami. Aku mau diobati Poltak saja," tolak Berta dengan nada suara rendah.
Guru Paruhum melotot pada Berta, lalu pada
Poltak, kembali pada Berta lagi, lalu balik pada Poltak.Â
Berta melihat pada Poltak. Menakar kemampuan dan kejujuran anak itu. "Kalau Poltak mampu menerbangkan seikat kayu bakar, tentu dia bisa mengobati lepuh bakar di jariku," pikirnya.
"Ya, sudah, kalau begitu. Tiur, ambil segelas air putih di meja Pak Guru. Cepat." Guru Paruhum menyerah. Tiur berkelebat lagi, meninggalkan kesiur angin.
Kurang-lebih semenit  kemudian, segelas air putih sudah di tangan Poltak. Kecepatan Tiur luar biasa. "Anak ini tahun depan bisa ikut lomba lari Agustusan," pikir Guru Paruhum yang baru menyadari potensi Tiur.
Poltak mendoakan air putih itu dalam hati. Didekatkannya bibir gelas ke bibirnya. Lalu mulutnya komat-kamit mendaraskan tabas, doa kepada Mulajadi Na Bolon, dengan perantaraan Boru Saniangnaga, dewi air Batak, agar sudi menjadikan air putih itu menjadi penyembuh lepuh bakar. Tabas dikunci denfan tiga kali tiupan nafas pada air di dalam gelas.
Tabas itu telah diajarkan neneknya padanya. "Air dan udara adalah sumber hidup. Darinya kesembuhan bermula," kata nenek Poltak saat mengajarkan tabas itu.Â
"Ingat, tabas nenek ajarkan hanya kepadamu. Kau hanya boleh nengajarkannya kepada salah seorang anakmu, atau cucumu, kelak," pesan neneknya. Ikatan darah membentk simpul kepercayaan.
Guru Paruhum dan murid-muridnya diam melobgo menyaksikan Poltak martabas. Tak ada suara. Tak ada yang berani mengusik dukun cilik dari Panatapan itu. Takut kualat.