Begitulah, bersamaan matahari terbenam di ufuk barat, semua warga Panatapan sudah mendapat berita absurd. Â Katanya, Poltak mendadak jadi dukun sakti setelah sempat sempat disekap homang, Â hantu penyekap manusia, di tengah hutan pinus. Entah siapa yang telah menambahkan frasa "disekap homang" itu.Â
Tidak, tidak semua warga Panatapan percaya pada kabar kedukunan Poltak itu. Nenek Poltak tahu bukan seperti itu  yang terjadi. Sebab dialah orang di belakang kejadian itu.Â
Setelah mendengar tuturan Dumaria tentang hilangnya Poltak, nenek Poltak langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Dia mengambil satu cawan keramik putih dari rak piring, lalu menuang air bening ke dalamnya hingga terisi setengahnya. Kemudian diambilnya sebuah jeruk purut, dibekah dua melintang, dan diambangkan di air dalam cawan.
Setelah komat-kamit membaca doa mohon petunjuk dari Mulajadi Na Bolon, nenek Poltak bisa melihat di mana posisi Poltak, cucunya, di dalam hutan pinus. Dia juga bisa melihat ada sosok roh yang menyekap Poltak. Pasti karena dia telah bertindak kurang ajar.Â
Karena kebelet, Poltak memang sembarang kencing, memancuri satu pohon pinus, tanpa minta ijin lebih dulu.
Roh diatasi dengan roh. Nenek Poltak bersemedi, minta tolong kepada roh suaminya, kakek Poltak, agar menolong Poltak cucu mereka yang sedang disekap sesosok roh di dalam hutan pinus.
Terjadilah sesuai permohonan nenek Poltak. Poltak diselamatkan oleh roh kakeknya yang datang dalam rupa neneknya. Hanya Poltak yang bisa melihatnya, tidak orang lain.
"Auh! Inong!" jerit anak perempuan mengaduh kesakitan terdengar dari pekarangan belakang sekolah.
Poltak, Binsar, dan Alogo, yang berada di pekarangan depan, segera memburu ke belakang, mencari tahu apa yang telah terjadi.
"Jari-jari Si Berta, Gurunami. Kena api." kata Tiur menjelaskan apa yang telah terjadi kepada Guru Paruhum.
"Tiur! Â Minta pasta gigi ke rumah Guru Marihot!" perintah Guru Paruhum sambil memeriksa jemari tangan kanan Berta. Tiur langsung berlari menuju rumah Guru Marihot.