Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pak Jokowi, Jangan Lemah Jangan Lengah

17 Juli 2021   06:34 Diperbarui: 17 Juli 2021   07:44 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi mendapat suntikan vaksin Covid-19 pertama (Foto: kompas.com/kompas.tv)

Presiden Jokowi akhirnya melarang komersialisasi vaksin Covid-19. Keputusan itu merespon resistensi berbagai pihak terhadap rencana bisnis vaksin berbayar individual dari  PT Kimia Farma. Implikasinya, BUMN itu mencoret rencana bisnis itu.

Pak Jokowi, selaku presiden, sudah memutuskan. Saya, sebagai rakyat, harus menerimanya, kendati tidak sepakat.

Tidak sepakat karena, sejauh ini, saya tak melihat satu pun alasan yang masuk akal untuk menolak opsi vaksin berbayar individual. Bagi saya, opsi itu lebih bertanggungjawab ketimbang, misalnya, bisnis wisata vaksinasi ke Anerika Serikat oleh agen-agen perjalanan swasta.  

Jika alasan diskriminasi atau kesenjangan yang dimajukan, maka opsi vaksin gotongroyong seharusnya dilarang pula. Sebab opsi itu diperuntukkan hanya untuk perusahaan-perusahaan besar anggota KADIN yang mampu membayar vaksinasi karyawannya. Lalu, perusahaan kecil dan menengah di luar KADIN, bisa apa?

Bagi saya, pelarangan vaksin berbayar individual adalah indikasi "kelemahan" Pak Jokowi dalam manajemen penanggulangan bencana non-alam pandemi Covid-19. Sebab jika benar klaim Menkeu Sri Mulyani bahwa dana vaksin gratis untuk 70 persen rakyat Indonesia sudah tersedia, dan stok dosis vaksin gratis kini masih aman, maka tidak ada komitmen dan etika yang diciderai.

Dengan pelarangan jalur vaksin berbayar itu, maka Pak Jokowi telah "melepas" peluang percepatan vaksinasi nasional yang ditawarkan opsi tersebut.  Harapan pencapaian target 2 juta vaksin per hari makin jauh saja.

Sulit bagi saya untuk tak berpikir resistensi terhadap opsi vaksin berbayar sebagai upaya pihak tertentu untuk menghambat keberhasilan vaksinasi nasional. 

Jika alasan keadilan sosial yang diajukan, maka saya harus katakan di sini, pemerintah sejatinya mesti memanfaatkan kondisi ketimpangan sosial untuk percepatan pembangunan, termasuk vaksinasi. Caranya, ya, mendorong dan memberi ruang pada lapisan atas untuk berswadaya. 

Dalam hal orang kaya dapat memenuhi sendiri kebutuhannya, maka pemerintah tak perlu melarangnya dengan dalil keadilan sosial. Layani saja. Itu gunanya pemerintah.

Sepintas mungkin tak tampak ada kaitan resistensi terhadap vaksin berbayar itu dengan resistensu terhadap PPKM Darurat.  Di sejumlah daerah, telah terjadi peristiwa bentrokan antara aparat dan kelompok-kelompok warga yang resisten pada PPKM Darurat.

Perhatikanlah. Resistensi itu datang dari kalangan bawah, khususnya pengusaha mikro dan kecil, yang hanya bisa hidup hari ini dari penghasilan hari ini.  Bukan resistensi dari pengusaha menengah dan besar yang masih punya tabungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun