Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

"Man from Tjoeroep", Zaldy the Forest Kompasianer

8 Juli 2021   14:42 Diperbarui: 8 Juli 2021   18:11 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangjapan layar halaman muka akun Kompasiana Zaldy Chan

Tjoeroep, atau Curup.  Saya harus menjelaskan itu dulu. Curup itu sebuah kota kecil di Provinsi Bengkulu. Tepatnya ibukota Kabupaten Rejang Lebong. Dulu, pada masa pemerintahan darurat, sempat menjadi ibukota Sumatera Selatan.

Kota ini tergolong kota bhinneka tunggal ika. Warganya berasal dari ragam etnis.  Mulai dari etnis lokal Rejang sampai Lembak, Serawai, Minang, Sunda, dan Jawa.

Salah seorang warga Curup dikenal dengan nama Zaldy Chan. He is The Man from Tjoeroep! Namun penelusuran data warga di  Kantor Disdukcapil dan KUA tak menemukan nama seperti itu.  Ada juga Rizaldy Chaniago.

Tapi, ya, sudahlah.  Anggap saja namanya memang Zaldy Chan.  Dan tak usah pula terlalu percaya itu nama sebenarnya.  Sebab kemarin dia memperkenalkan diri sebagai Bang Jack. Besok mungkin Datuak Maringgih.  Lusa, Samsoel Bachri.  Ah, tidak, nama terakhir ini kecakepan.

Zaldy mengaku seorang Kompasianer. Tentang hal ini tak ada yang bisa dibantah.  Memang ada akunnya.  Banyak tulisannya.  Dari novel, cerpen, puisi, sampai essai humaniora.  Tapi tak ada humor; tak pernah usai sebab selalu tertawa guling-guling  pada tiap ketikan huruf. Dia menolak mati ketawa.

Diksi dan gaya bahasanya memikat.  Mungkin itu pengaruh alam Curup yang menawan. Berada di punggung Bukit Barisan, kota ini dikelilingi Bukit Kaba dan Bukit Daun yang indah.  Lembah dan lerengnya hijau oleh padi sawah, kebun sayuran, dan kebun kopi. 

Membaca tulisan-tulisan Zaldy, kecuali humor yang gak pernah ada, membuat kita menjadi lebih beradab.  Tulisan-tulisannya menebar aura sejuk, sesejuk udara pegunungan yang memeluk Curup.  Membuai kita, sehingga kita lupa sejenak, bahwa Zaldy sebenarnya lelaki bercambang yang terobsesi menjadi Elpis Presli.

Bisalah dibayangkan, Zaldy menganggit tulisan-tulisannya di tempat-tempat indah di pedalaman. Semisal di Air Panas Suban, Pematang Danau, Gunung Kaba, Air Terjun Kepala Curup, dan di tengah hutan sambil membelai dan menciumi Rafflesia arnoldii.  

Tapi, kalau kumat mbelingnya, bisa juga dia menulis di tengah Pasar Bang Mego atau Pasar Serbo Ade. Hal itu dilakukannya saat lapar, sebab dia bisa kenyang angin hanya dengan mencium aroma rendang,  dendeng batokok, cincang, dan gajebo.  

Dari isi tulisannya, bisa ditebak, Zaldy itu seorang humanis sejati.  Tepatnya dia seseorang yang adat, kelakuan, dan tutur-katanya manis.  Gemar duduk manis mendengar ujaran lawan bicara.  

Tapi Zaldy sebenarnya, literally,  tak pernah mendengar lawan bicara. Terbukti, tanggapannya absolutely gak pernah nyambung. Which is lawan bicara ngomong ular, tapi dia bicara belut.

Harus diakui, diskusi dengan Zaldy itu asyik tiada ujung. Sebab dia selalu mengumbar alinea pertama setiap kali dapat giliran bicara. Ciri khas orang yang cerdas memulai tapi bingung mengakhiri.  Dengan kata lain, tukang lontar granat!

Ciri khas Zaldy sebagai Kompasianer, tidak pernah, atau sangat jarang, berkomentar atau membalas komentar.  Itu bukan karena dia sombong.  Tapi, katanya, akibat  signal buruk; nasib kota di tengah hutan.  Itu dalih.  

Keadaan sebenarnya, dia mengidap penyakit kronis defisit kuota internet. Kalau suatu waktu dia sampai memberi atau membalas komentar, itu berarti dia baru dapat transferan K-Rewards alias Kenthir Rewards.

Tak banyak yang tahu, Zaldy itu seorang penyanyi.  Dia bahkan punya studio rekaman di kamar mandi rumahnya.  Kualitas suaranya mendunia, sama dengan kualitas suara Giant, teman Nobita dalam film kartun Doraemon. Biasanya, di grup perpesanan, jika dia pamer nyanyi, maka semua anggota grup langsung left.

Sebagaimana warga Rejang Lebong umumnya, Zaldy juga seorang petani.  Tapi dia tergolong petani loteng, bercocok-tanam di loteng rumahnya.  Menanam kangkung, cabe, sawi, dan aneka sayuran lainnya.  

Zaldy itu terbilang petani sadis.  Dia gemar memberi makan tanaman dengan limbah dapur dan tanaman. Katanya itu pertanian organik.  Tapi sebenarnya itu penistaan terhadap tanaman. Keji!

Selain menista tanaman, terkadang dia juga menyiksa tanaman dengan hanya memberi makanan cair, air yang dibumbui bahan-bahan yang hanya dia saja yang tahu apa itu. Bayangkan, tanaman dicekoki minuman terus sampai kembung.  Sadis!

Tapi kita perlu berempati kepada Zaldy untuk satu hal.  Dia selalu bermasalah dengan tombol "tayang" di Kompasiana saat akan mengagihkan tulisan.   Muter-muternya, gegara miskin sinyal, lebih lama ketimbang waktu menulis.  Nulis 30 menit, muter-muter nunggu tayang 60 menit.  

"Begitulah nasib Kompasianer yang tinggal di hutan," katanya.  Ya, Zaldy,  the forest Kompasianer! Pilu banget nasib elo, Uda! (eFTe)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun